Pilih Laman

Rabu, 2 Agustus 2017 | teraSeni.com~

Semenjak Fahrul Huda menghibahkan rumah gadangnya guna mengembangkan seni budaya bagi anak kemenakannya, rumah gadang pasukuan Pitopang itu memainkan fungsinya yang baru: ruang belajar. Anak-anak dari berbagai latar belakang, jenis kelamin dan kisaran umur mulai berdatangan. Di sana, mereka boleh melakukan apa yang mereka bisa dan maui. Menari, menggambar, menyanyi, memukuli talempong, membuat puisi. Semua itu mereka lakukan di sela-sela sekolah yang kini telah menjadi suatu kewajiban formal yang melelahkan dan telah menjadi demikian menghimpit serta menyita masa kanak-kanak mereka.

Awalnya rumah gadang itu adalah rumah bagi Komunitas Lembah Harau, komunitas seni budaya yang didirikan masyarakat Lembah Harau, yang diketuai oleh Fahrul Huda sendiri. Kini, komunitas itu bertambah luas dengan adanya Ruang Belajar Bintang Harau dan berinduk pada Yayasan Bintang Kidul, Yogyakarta—sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan alternatif di luar sekolah formal dengan konsentrasi pada kesenian, olahraga khususnya badminton, serta sains. Anak Yayasan Bintang Kidul tersebar di 5 kota di Indonesia yaitu di Pati, Jogjakarta, Bekasi, Padang, dan Lembah Harau Lima Puluh Kota.

Ruang Belajar Bintang Harau-teraSeni.com
Penampilan Tari Pasambahan
oleh Anak-Anak Bintang Harau
dalam Pembukaan Ruang Belajar  mereka
(Foto: Roni Putra) 

Semua terjadi setelah selesainya Pasa Harau Art & Culture Festival pertama, sekitar setahun yang lewat. Sedikit banyak, festival itu telah membawa suatu kesadaran dan rasa butuh akan seni budaya dalam masyarakat Harau. Benih-benih yang telah ditanaman oleh Komunitas Lembah Harau, menemukan persemaiannya yang baru.

Penulis sendiri adalah salah seorang penyelenggara Pasa Harau Art & Culture Festival serta salah satu volunteer awal yang menginisiasi Ruang Belajar Bintang Harau. Ruang Belajar Bintang Harau diinisiasi berdasarkan pengamatan terhadap dua soal, pertama soal pendidikan, dan kedua soal kesenian, maka penulis sebut saja pendidikan kesenian.

Pertama, Pendidikan kesenian kita hari ini seolah tidak mendapat perhatian yang proporsional, pendidikan seni masih dianggap kurang penting bila dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Pengajaran kesenian di sekolah hanya (nampak) sibuk ketika sekolah itu mengikuti perlombaan-perlombaan seni budaya tertentu, setelah perlombaan usai maka kesenian di sekolah kembali sepi seperti lekuk ditinggal air. Kedua, kesenian tradisi kita, yang melulu hidup diantara konvensi dan modernisasi: antara ketakutan akan kehilangan nilai-nilai yang tradisional di satu sisi, dengan keharusan yang tradisional dalam merespon perkembangan teknologi informasi/modernisasi yang tidak terbendung di sisi lainnya.

Maka berdirilah Ruang Belajar Bintang Harau, yang berlokasi di Lembah Harau, Kanagarian Harau, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Ruang Belajar Bintang Harau bertujuan untuk menciptakan ruang berproses untuk menggali potensi anak-anak dengan membebaskan hasrat kreativitas keluar sekehendak hati mereka, dan dengan semangat tradisi, kemudian meramunya dalam sebuah struktur yang dinamakan kesenian, baik itu tari, musik, gambar, puisi, dan teater.

Ruang Belajar Bintang Harau-teraSeni.com
Suasana Pertunjukan malam hari 
dalam Pembukaan Ruang Belajar
Bintang Harau 

(Foto: Roni Putra) 

Setelah berproses latihan selama lebih kurang 7-8 bulanan, barangkali ada sebagian masyarakat Harau yang bertanya-tanya apa pula yang diperbuat oleh anak-anak dengan menyanyi dan menari di dalam sebuah rumah gadang saban sore hari? Sekiranya sudah selayaknya pula diberitakan kepada masyarakat apa yang telah mereka lakukan di ruang Rumah Gadang yang tak lagi ditinggali itu. Dan bertepatan dengan Hari Anak Nasional, Minggu 23 Juli 2017, dengan tajuk “Pendidikan Alternatif Sebagai Ruang Menimbun Pengalaman Bagi Anak-Anak Kreatif” Ruang Belajar Bintang Harau diresmikan beserta perpustakaan dan lapangan badmintonnya dengan menggelar pentas seni yang berisi pertunjukan tari, musik, drama, puisi, pantomime, pemutaran film, pameran foto, serta menggambar bersama dengan media triplek sepanjang 6,6 meter persegi.

Peresmian tersebut dihadiri oleh direktur Yayasan Bintang kidul Jogjakarta, konsultan Yayasan Bintang Kidul, serta jaringan Yayasan Bintang Kidul yang tergabung dalam jaringan Solibad (Solidaritas Badminton) Internasional. Para tamu disambut dengan Tari Pasambahan, para penari yang terdiri dari puluhan anak-anak Bintang Harau.Malam harinya, selesai sholat isya, penonton yang terdiri dari masayarakat, para orang tua dari anak-anak Bintang Harau, berdatangan memadati area pertunjukan (lapangan badminton) yang telah disulap sedemikian rupa. Instalasi lampu-lampu menerangi area, lampion-lampion yang dibuat dari songkok ayam yang dililit dengan kertas minyak dan digantungkan pada tripod yang dibuat dari bambu, disebar di area.

Pada Jam 20.30, rangkaian acara dilanjutkan, agak molor dari jadwal yang sudah ditetapkan dalam rundown. Pertunjukan dibuka oleh penampilan pantomime dari Sekolah Dasar Raudhatul Jannah Kota Payakumbuh. Pantomime yang dilakoni oleh Ibnu Zhafran Yakub dan Bagas Syah Perdana ini membawa warna tersendiri, pertunjukan dengan ciri khas make up yang serupa topeng itu diminati oleh penonton, sesekali gelak tawa buncah ketika mereka berhasil menebak dan menangkap adegan-adegan yang diperankan oleh pelakon.

Ruang Belajar Bintang Harau-teraSeni.com
Permainan Talempong dan Gendang
oleh Anak-Anak
Ruang Belajar Bintang Harau 
(Foto: Roni Putra) 

Tepuk tangan riuh bercampur haru terdengar setelah anak-anak Bintang Harau membawakan lagu ciptaan mereka, lagu yang dibawakan dengan aransemen sederhana menggunakan alat musik pianika dan gitar akustik. Walau sederhana secara musikal, lagu ini muncul dari hasil olah pikir mereka sendiri atas alam yang menampakkan diri: lembah, sarasah, dan bukit batu, serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat Harau. Hingga petang menjelang bapak turun ke ladang//sementara para ibu menjerang rindu// kanak-kanak berlari tebing-tebing menari//senja pulang pada ibu dalam dekap rindu. Mereka seolah menyanyi mengiringi langkah orang tua mereka mendaki bukit memanen kerinduan.

Penonton yang hadir selanjutnya menyaksikan pertunjukan musik dan tari dari sanggar Puti Ambang Bulan dari jorong Sikabu Tanjung Haro Padang Panjang Kecamatan Luak, Kab. 50 kota. 4 orang anak masuk membawa kayu serupa stik, mendekati gendang yang tingginya hampir sama dengan mereka, meski masih kanak-kanak mereka tampak begitu tangguh. Adrenalin mereka terpacu mengikuti pola ritmis perkusi gendang yang mereka pukul, tampak kepala mereka mengangguk-angguk sesuai ritma gendang. Pola demi pola dimainkan, sesekali dimainkan dengan rampak.

Setelah memainkan komposisi perkusi kemudian mereka pindah ke instrumen talempong yang sudah disusun serupa ansamble. Ada talempong yang digunakan untuk melodi, ada yang hanya memainkan akord. Penonton bertepuk tangan mengikuti irama talempong. Tak lama kemudian para penari masuk, mereka menarikan kegembiraan kanak-kanak yang riang. Beranda Rumah Gadang dimanfaatkan untuk memamerkan beberapa foto proses kreatif anak-anak Harau, juga foto-foto masyarakat yang sedang memanen hasil sawah ladang, foto ibu-ibu yang sedang duduk didepan rumah bersama anak-anak mereka, foto anak-anak bermain layang-layang.

Dua film diputar malam itu dan sebuah video klip kreasi anak-anak Bintang Harau. Film pertama berjudul Bajuang, sebuah film produksi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta yang diproduksi di tahun 2014 yang berlokasi di Harau. Film ini menceritakan bagaimana perjuangan hidup Hasan dan ibunya setelah bapaknya meninggal dunia. Penghasilan ibunya sebagai ibu rumah tangga yang tidak seberapa tidak sanggup lagi membiayai sekolah Hasan, hingga Hasan tidak lagi bisa melanjutkan sekolahnya. Hasan, yang mewarisi keterampilan almarhum bapaknya dalam pacu itiak, permainan rakyat khas Kab 50 Kota, pada akhirnya bisa melanjutkan sekolahnya setelah itik kesayangannya yang diberi nama Buyung, yang dilatihnya sekuat tenaga, berhasil memenangkan perlombaan pacu itiak.

Ruang Belajar Bintang Harau-teraSeni.com
Penampilan Pantomime
Oleh Salah Seorang Anak
Ruang Belajar Bintang Harau 
(Foto: Roni Putra) 

Film kedua berjudul Sekolah Bintang. Film yang diproduksi oleh Yayasan Bintang Kidul ini menceritakan bagaimana kehidupan Kampung Lapak (kampung pemulung di Bekasi). Anak-anak di Kampung Lapak hidup sehari-hari dengan sampah, rumah mereka seolah dibangun dari tumpukan-tumpukan sampah. Menjelang subuh mereka sudah bangkit dari tidur, memakai atribut pemulung, menyandang karung goni serta besi yang ujungnya berpengait lalu mulai berdinas, membolak-balik sampah sekiranya ada sesuatu yang bisa dijadikan uang untuk penyambung hidup.

Meskipun mereka terpisah dari kehidupan kampung lainnya, Kampung Lapak mempunyai tata kehidupan sendiri, mereka mempunyai sekolah sendiri yaitu sekolah lapak, sekolah tempat berbagi rasa, berbagi nasib, juga punya kegiatan olah raga berupa futsal, badminton, sehabis memulung sampah-sampah mereka berangkat sekolah (sekolah lapak), sorenya mereka berolahraga.
Moment yang paling mengharukan malam itu barangkali adalah ketika pemutaran video klip Bintang Harau. Lagu yang dibuat dari puisi penyair Payakumbuh Iyut Fitra yang berjudul Orang Lembah dengan musik yang diaransemen oleh Ruang Kreatif La Paloma itu menjadi hits setelah videonya diproduksi oleh anak-anak muda kreatif kota Payakumbuh, Payakumbuh ArtSpace.

Di sini, penulis bisa melihat, para orang tua—yang sehari-hari sibuk bekerja—yang ikut menonton, seketika terenyuh begitu melihat anak-anak mereka berada dalam frame video yang diputarkan pada screen sebesar 3×4 meter sambil bernyanyi, bermain di pematang sawah, menyapa petani di sawah dan ladang, memperlihatkan alam Harau. Entah bagaimana, video itu seperti mengingatkan kembali akan senyum anak-anak mereka yang sering luput atau keceriaan remeh pematang sawah yang mampu membuat dua atau tiga air mata meleleh tanpa disadari. Sebelum ditutup dengan penampilan karya drama tari Gadis Harau, ada diantaranya penampilan beberapa reportoar tari dari anak-anak Bintang Harau, seperti Tari Panen, Tari Malapuak Niru, dan Tari Nirmala yang geraknya adalah hasil kreasi mereka sendiri.

Pada penghujung acara, sebuah drama tari dengan koreografer muda kota Payakumbuh Andi Porong, ditampilkan. Tari yang terdiri dari 3 bagian ini menceritakan masa kanak-kanak dengan para penari anak-anak ditandai dengan permainan-permainan masa kecil anak-anak, kemudian masa remaja yang ditandai dengan lonjakan puberitas, serta masa kedewasaan dimana gadis Harau mulai merenungkan kedirian mereka: apakah akan menjadi perempuan yang terkurung oleh lembah sarasah sebagai simbol tradisi atau memilih rantau sebagai simbol modernisasi, lalu dimana mereka akan menempatkan diri diantara keduanya.

Ruang Belajar Bintang Harau-teraSeni.com
Penampilan Tari 
oleh Anak-Anak 
Ruang Belajar Bintang Harau 
(Foto: Roni Putra) 

Secara keseluruhan pertunjukan yang dihadirkan tentu sangat berkesan bagi semua penonton yang hadir malam itu. Diantara para orang tua tidak menyangka bahwasanya anak kemenakan mereka yang biasa malu-malu ternyata punya potensi besar dalam hal pengembangan diri melalui proses kreatif kesenian. Mereka mulai menyadari bahwa mereka punya generasi kreatif yang akan membangkit gairah seni yang selama ini terkubur dalam di Nagari Harau, anak kemenakan yang akan kembali menyemarakkan kampung nagari Harau dengan ekspresi kultural berupa permainan-permainan dan kreativitas-kreativita kesenian.

Satu hal yang dirasa mengganggu pada malam itu hanyalah soal penampilan luar saja. Di hampir semua reportoar, anak-anak menggunakan make up sangat berlebihan sehingga kesan anak-anaknya hilang dan mereka tampak seperti orang dewasa. Di luar itu semua, persoalan tetek bengek pertunjukan lainnya seperti lighting, blocking panggung, garis panggung antara penonton dan performer, penonton yang dilarang makan dan minum, atau ukuran-ukuran adiluhung lainnya bukanlah sesuatu yang menjadi persoalan di sini, karena mereka, penonton dan performer, hanya sama-sama ingin mengungkapkan ekspresi kehidupan, ekspresi pengalaman-pengalaman kreatif, sehingga kesenian menjadi penting sebagai media mempertemukan berbagai persoalan dalam masyarakat secara damai.