Sabtu, 30 Desember 2017 | teraSeni.com~
Seorang putri priyayi memilih kabur dari rumah untuk menjalin cinta dengan seorang gento. Mendamba kepastian berumah tangga dengannya, namun sia-sia karena sang gento menolak dengan dalih trauma. Sebagai ‘pelarian’, sang perempuan menanam dan merawat bunga di halaman rumah kontrakannya. Di sela merawat taman bunganya, ia kerap berjumpa dengan seorang ustaz. Perlahan sang Ustaz mendekatinya dengan memberikan satu hal yang tidak pernah diberikan kepadanya, yakni masa depan dan kepastian.
Alih-alih cerita usai dengan kebahagiaan, ternyata ustaz tersebut adalah mantan rival seprofesi yang masih menyimpan dendam kesumat kepada sang gento. Berkalut dendam, sang ustaz berstrategi untuk membalas melalui sang perempuan tersebut. Di akhir cerita, bukan sang ustaz atau sang gento yang kelak membahagiakan sang perempuan, melainkan dirinya sendiri.
![]() |
Nis (Anisa Hertami) menggendong anaknya di akhir pertunjukan Sekar Murka (Foto: Ajie Wartono) |
Cerita di atas adalah potongan-potongan narasi dari pertunjukan teater yang bertajuk Sekar Murka karya Jaring Project pada sabtu (16/12). Dalam pertunjukan tersebut, cerita yang ditulis oleh Desi Puspitasari dan disutradarai Ibed Surgana Yuga, menampilkan pemain yang kiranya tidak asing di wajah perteateran dan perfilman, yakni Jamaluddin Latif (Rusman), Anisa Hertami (Anisa), dan M. Dinu Imansyah (Solihin). Tidak hanya itu, pertunjukan yang digelar di Padepokan Bagong Kussudiardja ini turut berkolaborasi dengan Ishari Sahida dan Ari Wulu sebagai penata musik, serta Roby Setiawan sebagai penata artistik.
Digelar dalam rangka Jagongan Wagen Edisi Desember 2017, pertunjukan ini tidak hanya bicara soal pembalasan dendam dan kepastian yang menggantung, namun turut menyiratkan satu hal penting, di mana perempuan mempunyai kuasa untuk melawan. Pertunjukan dengan cerita realis yang kiranya penting untuk lanskap kultural penonton Indonesia yang patriarkis.
Dari Harapan hingga Perlawanan
Anisa atau Nis adalah seorang perempuan terhormat dari keluarga priyayi. Pada mulanya ia hidup baik-baik saja, tinggal di dalam naungan keluarga yang tenang, dan tengah menyelesaikan studi di salah satu kampus ternama. Namun Nis memilih hal yang berlawanan, ia memilih tinggal di sebuah kontrakan kecil dan kabur dari rumah untuk menjalin cinta bersama seorang jago pukul (baca: preman), Rusman, atau kerap dipanggil Man.
Pertunjukan diawali dengan adegan janggal, Nis tengah berbicara dengan taman bunganya laiknya berimajinasi tentang merawat buah hati. Dengan wajah sumeringah, Nis dengan sabar meladeni ‘anak-anak’ yang tengah bermain. Di sela Nis berimajinasi, Rusman memandangnya dari luar pagar. Dengan senyum, Man perlahan masuk ke halaman berbunga. Namun karena terlalu asik, maka Nis tidak menggubris.
Beberapa saat setelahnya, Man mulai menggoda Nis. Mengetahui Man telah datang, Nis pun terkejut. Mereka mulai membicarakan tentang kehidupan mereka. Percakapan tersebut diakhiri dengan adu mulut tentang cita-cita Nis berkeluarga dan mempunyai anak. Berdalih trauma, Man menolak dan mengajak Nis berfikir rasional dan teguh pada pernjanjian mereka di awal hubungan, tak memiliki anak.
![]() |
Nis (Anisa Hertami) duduk termangu setelah ditinggal Man yang marah dalam salah satu adegan Sekar Murka (Foto: Ajie Wartono) |
Pada adegan awal tersebut, Anisa Hertami telah memberikan impresi yang cukup baik tentang citra perempuan Jawa yang santun dan halus. Sedangkan Jamal berhasil memberikan impresi akan preman yang cuek dan tak tahu aturan. Namun penonton agaknya tidak dapat menangkap dengan cepat atas banyaknya informasi yang ingin diberikan, mulai dari kehidupan Nis, Man, cinta mereka, hingga harapan mereka. Dampak dari tebalnya informasi membuat pertunjukan yang berbasis teks atau naskah ini menjadi tidak langsung mencuri perhatian. Hal ini terlihat dari awal rayuan Jamal kepada Anisa yang terasa kaku. Jamal dirasa baru mendapatkan mood-nya pada bagian rayuan di tengah percakapan mereka. Setelahnya Jamal bermain dengan penjiwaan dan keaktoran yang baik.
Setelah perdebatan antara harapan berkeluarga menyeruak, Man pergi dengan amarah meninggalkan Nis, sedangkan Nis hanya duduk termangu. Dalam kesedihan tersebut, muncul seorang laki-laki berpakaian muslim (baca: baju koko dan sarung). Ia adalah Solihin atau Hin, seorang ustaz yang peramah dan riang. Hin bertemu Nis selepas pulang beribadah di mesjid. Membawa gitar kecil, Hin mulai menggoda Nis dengan beberapa lagu-lagu dangdut yang kini tengah naik daun, seperti lagu Sayang yang dipopulerkan oleh Via Vallen, atau Bojo Galak yang dinyanyikan oleh Pendhoza. Berbeda dengan Man, rayuan Hin lebih akrab dengan penonton muda—yang saat itu dominan di bangku penonton. Oleh karena itu, “masuk”-nya Hin ke dalam pertunjukan menjadi lebih efektif dan cepat.
![]() |
Hin merayu Nis dengan iming-iming keluarga bahagia dalam salah satu adegan Sekar Murka (Foto: Ajie Wartono) |
Dalam rayuannya, Hin merayu Nis dengan iming-iming keluarga bahagia. Hin melawan semua prinsip Man dalam membina hubungan. Oleh dasar pertengkaran besar sebelumnya, keteguhan Nis pada Man perlahan goyah. Nis mulai berandai-andai dan membandingkannya dengan Man. Tidak disangka, ternyata Man mengetahui adanya perjumpaan antara Nis dan Hin. Pertengkaran kembali menyeruak, namun Man kukuh mengatakan bahwa Hin tidak jauh lebih baik darinya, Hin hanya laki-laki yang berlindung pada jubah agama. Nis mulai menimbang-nimbang atas apa yang dikatakan Man, terlebih Hin adalah mantan rival seprofesi dari Man.
Setelahnya Nis kembali berjumpa dengan Hin, mereka menanyakan beberapa soal terkait masa lalu keduanya. Bermodal kabar burung, Nis mulai menerka-nerka apa yang terjadi dengan Hin. Ternyata naas dialami Hin, ia batal menikah karena terjadi sesuatu yang buruk pada sang calon istri. Namun Hin terus meyakinkan Nis, bahwa ia telah berubah dan tidak berkeinginan menengok kembali ke masa lalunya.
Persoalan pun semakin meruncing ketika Man mendatangi Nis yang tengah berbincang dengan Hin. Beradu mulut hingga perkelahian antara Hin dan Man pun tidak dapat terhindarkan. Yang cukup mengenaskan, beberapa bunga yang dirawat oleh Nis rusak oleh karena perkelahian kedua laki-laki tersebut. Nis yang awalnya histeris tidak lagi dapat menahan diri. Akhir dari perkelahian, Nis menodongkan arit ke leher Man yang tengah memenangkan perkelahiannya dengan Hin. Nis menjadi sangat murka bak kesetanan.
![]() |
Nis yang mencintai bunga-bunga, dan Man kekasihnya yang menolak menihahinya (Foto: Ajie Wartono) |
Persoalan semakin memuncak di beberapa adegan setelahnya, kebun Nis porak poranda. Man dan Hin kembali bertengkar hebat saling menunding atas perusak kebun Nis. Namun tiada jalan keluar mereka peroleh, justru babak belur mereka dapat. Pertengkaran yang digambarkan dalam pertunjukan ini pun dibuat berlevel, dari adu mulut yang digambarkan dengan Man bersender pada sebuah dinding dan Hin di sisi gelap lainnya; baku hantam di belakang Nis yang digambarkan dengan siluet; serta baku hantam persis di depan Nis. Hal ini memberikan impresi persoalan yang memuncak.
Di satu adegan pertengkaran tanpa penyelesaian akan siapa yang membuat taman bunga Nis rusak, mereka kembali menuding satu sama lain di depan Nis. Perlahan semua kenyataan terungkap, di mana Hin memang ingin membalaskan dendamnya kepada Man melalui Nis. Mengetahui bahwa Man tidak ingin memiliki anak, maka Hin mengambil kesempatan strategis, memberikan harapan akan keluarga yang tidak hanya memberikan keturunan, namun ditambah dengan bumbu-bumbu agama.
Laiknya rindu, dendam kesumat Hin harus lunas terbayar. Pasalnya, selain rival seprofesi, kegagalan pernikahan yang dialami Hin ternyata ulah dari Man. Calon istrinya dihamili, hingga menjadi gila. Kegeraman Hin memuncak, cita-cita yang direncanakannya hancur seketika. Maka membuat Man mengalami hal serupa adalah hal yang harus dilakukan, dan Nis menjadi medium yang paling cocok untuk mengabulkannya.
Namun, cerita tidak usai begitu saja. Alih-alih cerita memenangkan Man atau Hin dalam mengambil hati Nis, pertunjukan justru menjadi sangat menarik ketika kemurkaan Nis memuncak. Dengan tatapan mata yang tajam, rambut tak beraturan, dan tangan yang mengepal, Nis membubarkan pertengkaran Hin dan Man dengan kenyataan yang tidak pernah dibayangkan kedua laki-laki tersebut.
Di mana Nis telah mempunyai anak dari Man, tapi karena mengetahui Man tidak ingin mempunyai anak, maka Nis kabur dari rumah dan Man atas alasan skripsi. Oleh karena itu Nis merawat taman bunga untuk melampiaskan kerinduannya merawat sang anak yang dititipkan kepada sebuah keluarga. Pun Nis awalnya mempunyai harapan untuk mengubah prinsip Man, namun semakin hari semakin pupus. Mengetahui hal tersebut, Man lunglai tak berdaya. Sementara itu, Nis mempertanyakan janji-janji paslu “menerima apa adanya” kepada Hin. Hin yang sangat membenci Man, tidak akan mungkin merawat anak dari darah daging musuhnya. Hin diam termangu dibuatnya.
Namun Nis tidak bertujuan meminta perlindungan, baik dari Man ataupun Hin. Mengetahui bahwa menunggu Man adalah sia-sia, dan Hin hanya datang karena dendam, maka memperjuangkan diri sendiri merupakan jalan paling realistis untuk Nis. Di akhir cerita, Nis menggendong anaknya, bersama rangkaian bunga yang tumbuh begitu besar, tanda cintanya kepada sang buah hati.
![]() |
Nis menantang Man yang tidak berani untuk menikahinya (Foto: Ajie Wartono) |
Dalam adegan-adegan akhir, Anisa berhasil memerankan sosok Nis dengan baik. Sederhananya, Anisa telah menghidupkan citra dari sosok Nis dengan memberikan impresi perubahan yang sekejap dan signifikan dari perempuan priyayi menjadi sosok yang sebaliknya, bahkan beringas. Namun yang cukup menarik, apakah gimik kermurkaan perempuan priyayi memang telah tergambarkan dengan utuh? Tentu ini pilihan, tetapi mengelola kemurkaan halus dan tenang yang menusuk a la Jawa mungkin bisa menjadi pertimbangan.
Sedangkan jika bicara keaktoran, tidak ada tanggapan lebih lanjut selain kualitas Jamal dan Dinu yang dapat menghidupkan cerita dengan sangat baik. Jamal dengan cara tutur yang santai dan meyakinkan dapat memberikan impresi preman yang kuat hingga lemah—tunggang langgang dibuat oleh seorang perempuan. Dinu dengan cara tutur yang serius namun jenaka, membuat pertunjukan menjadi berwarna dan menghibur. Belum lagi, letupan-letupan emosi Hin yang dimainkan Dinu juga menarik dalam penjiwaan. Pertukaran dialog antara Jamal dan Dinu kiranya membuat pertunjukan semakin menarik dan artikulatif. Sedangkan Anisa, sebagaimana ia akrab dengan dunia perfilman, kiranya dapat memberikan sentuhan keaktoran yang berbeda dari dua sebelumnya. Kiranya keaktoran masing-masing penampil tidak dapat dibandingkan satu sama lain, karena ketiga penampil justru membuat Sekar Murka menjadi satu sajian yang utuh.
Menjadi Perempuan Masa Kini
Nis perempuan Jawa tulen yang halus dan tenang memilih kabur dari rumah untuk seorang pujaan hati. Sebagai putri seorang priyayi, kabur dari rumah adalah sebuah keberanian. Hal ini tentu memperkuat sosok Nis sebagai seorang perempuan yang dibesarkan pola asuh priyayi, yang resisten atas kehidupannya. Bahkan dalam memilih pasangan, lazimnya anak priyayi akan mendapatkan keluarga priyayi lainnya, Nis justru menginginkan cinta dari seorang preman. Dalam hal ini, tentu Nis sudah menjadi priyayi yang ‘mengkhawatirkan’. Hal-hal yang tidak ada di bayangan keluarga priyayi, Nis terobos. Hal ini menjadi poin keberangkatan Nis sebagai perempuan yang berbeda.
Namun Nis tetap digambarkan sebagai perempuan yang halus. Selain dengan cara tutur yang perlahan dan tenang, taman bunga yang ia rawat dengan kasih sayang setidaknya dapat diartikan sebagai sisi keperempuanan Nis. Walau taman bunga di sini adalah metafora kasih sayang Nis untuk anaknya yang ia titipkan. Dalam hal ini dapat dilihat sebagai cara Nis melampiaskan keinginan merawat sang buah hati, sekaligus mengelabui Man akan pilihan yang ditentukan oleh Nis.
Alih-alih Nis diam mengalah, Nis ‘melawan’ dengan cara diam yang halus. Membesarkan anak tanpa persetujuan Man adalah satu perlawanan utama dari Nis, sedangkan perlawanan halus dimulai sejak Nis memperlihatkan imajinasinya akan anak kepada Man; percakapan yang tidak jarang diakhiri pertengkaran; hingga batas sabar Nis yang putus dibuat pertengkaran yang berbuah rusaknya taman bunganya. Hal itu saling sengkarut sebagai upaya perlawanan Nis pada Man.
Hal ini tentu tidak terbayangkan sebagai sebuah kenyataan, oleh karena itu juga rekan Jaring Project menyebut sosok di dalam cerita sebagai tokoh rekaan. Namun kiranya irisan-irisan atas kehidupan perempuan sedikit-banyak tersingkap, di mana perempuan kini dalam keadaan yang semakin beragam dan kompleks. Pembacaan ini pun sebenarnya bukan hal yang baru, Sapardi Djoko Damono di tahun 2013 mengeluarkan Namaku Sita. Sebuah puisi panjang yang memberikan reorientasi atas cerita Rama Sinta. Damono menggambarkan perasaan sedih Sita ketika Rama memintanya membakar diri sebagai wujud kesucian setelah penculikan. Damono dengan cerdik menggambarkan hancurnya perasaan Sita, yang sekaligus menjadi impuls kesadaran bahwa perempuan harus kuat dan melawan.
![]() |
Man bertarung dengan Hin dalam salah satu adegan Sekar Murka (Foto: Ajie Wartono) |
Berikut adalah potongan puisi Damono (2013:55), “Sita nama saya, ya, Sita nama saya/setiap hari mengendarai motor/agar tidak terlambat sampai di kantor./Tak tahu lagi di mana suami saya/mungkin ia tidak ingin merdeka/dari penjara aksara di Buku Purba/menyalakan api yang sia-sia. Dalam hal ini, Sita dihadirkan sebagai perempuan kekinian yang melawan sihir Rama yang tidak sadar akan kehidupan kini—tenggelam dengan dogma dan impian fana. Sederhananya Rama tidak kontekstual dengan konstelasi kini.
Hal ini kiranya sesuai dengan pertunjukan Sekar Murka, pertunjukan dengan cerita yang sudah jarang tergarap oleh kelompok teater kini, tentang cerita percintaan. Kendati demikian, Jaring Project tidak memberikan narasi romantis a la Hollywood, melaikan irisan-irisan cerita cinta yang pahit. Yang kiranya berasal dari akumulasi persoalan masyarakat.
Bertolak dari itu semua, pertunjukan ini kiranya telah memberikan satu kesadaran di mana perempuan mempunyai suara. Perempuan tidak seperti yang kerap digambarkan tidak berdaya, yang kerap dimunculkan hanya sebagai pelengkap cerita, atau menjadi objek penderita. Di sini perempuan menjadi subjek dari pemegang keputusan di antara sosok-sosok maskulin dengan versinya masing-masing, yakni Man sang preman dan Hin sang ustaz. Dalam hal ini kiranya pertunjukan Sekar Murka memberikan cara pandang yang setara atas gender guna menyingkap simpul-simpul problematika yang berlapis di tengah masyarakat kini. Di mana semua mempunyai suara, maka semua harus setara.[]