Pilih Laman

Kamis, 8 Februari 2018 | teraSeni.com~

Akhirnya pada satu kesempatan saya sampai juga ke negeri Maek. Sebuah negeri yang terletak di Kecamatan Bukit Barisan, Kabupaten 50 Koto, Sumatera Barat. Tidak jauh sebenarnya dari tempat tinggal saya, kira-kira lebih kurang 60 KM. Dari Kota Payakumbuh tinggal menuju pasar Limbanang kemudian belok kanan di pertigaan selepas pasar Limbanang. Tetapi sangat terasa jauh rasanya untuk meluangkan waktu untuk pergi ke Nagari Maek.

Menhir-Teraseni.com
Salah satu situs Menhir Padang Hilalang
Dokumentasi foto: Tim Pasa Harau
 

Pertama, memang jalan menuju ke sana mesti melingkari bukit barisan dengan medan berliku tajam, mendaki dan menurun bukit. Kedua, barangkali bagi kami masyarakat kota Payakumbuh dan Kab 50 Koto pada umumnya, Maek memiliki citra yang sangat mistis, entah dari mana pula cerita-cerita itu bermula. Salah satunya adalah “kalau ke Maek jangan minum dan makan sembarangan, kalau bisa bawalah minum dan makan sendiri”, itu yang selalu dikatakan orang-orang, sudah menjadi rahasia umum dan itu cukup off-the-record saja, begitu kira-kira citra tentang negeri Maek bagi kami yang di luar Maek. Itu juga barangkali yang membuat Maek terasa jauh untuk dikunjungi.

Menhir-Teraseni.com
Sebuah bukit yang serupa Piramid
Dokumentasi foto: Tim Pasa Harau

Kontan saja, begitu masuk di Jorong Koto Gadang, tetiba saja aura yang saya rasakan berubah menjadi mistis disertai perasa. was-was. Sebegitu ampuh citra yang dibangun tentang Maek ini merasuki, katakanlah, alam bawah sadar saya. Dan karnanya, setiap melewati seseorang atau beberapa orang maka klakson motor langsung berbunyi secara otomatis, dan sapa serta senyum menjadi mudah ketika telah menapaki negeri Maek bersama segala kemistikannya. Saya tidak sendiri, kami ada 4 orang. Kami adalah orang-orang yang gemar melihat-lihat kearifan lokal, merekam dan mendokumentasikan dalam pengalaman kemudian mendiskusikannya, lalu memproduksinya sebagai pengetahuan untuk diri kami sendiri, dan bila itu bermanfaat, maka tidak ada salahnya untuk dibagi pada orang banyak.

Menhir-Teraseni.com
Situs Menhir Balai-Balai Koto Gadang
Dokumentasi foto: Tim Pasa Harau

 Sebelum magrib kami sudah sampai di rumah kawan, jalan beton dan krikil mendominasi jalan jorong yang menghubungkan satu jorong dengan jorong lain di Nagari Maek, sulit sekali mencari jalan yang diaspal, tetapi itu tidak penting lagi karena kami sudah berada di rumah kawan yang tengah dalam perjalanan pulang. Duduk sebentar kemudian bergantian berwuduk untuk melaksanakan sholat magrib, selain hubungan dengan Tuhan sholat juga bisa sebagai “Approach Culture”, kata Dede Pramayoza selesai berwuduk.

Selesai sholat, mulai terdengar kesibukan di dapur, agaknya istri kawan itu memasak untuk kami. Tak lama kemudian kawan itu tiba, menemui kami yang masih diliputi keraguan seputar mitos yang terbangun tentang Maek. Namun, kawan kami itu meyakinkan bahwa di sini aman dan terkendali. Setelah mendapat jaminan, barulah kemudian kami bisa seenaknya minum dan makan malam di rumah mertuanya. Walau begitu, menurutnya memang ada daerah-daerah tertentu yang masih diselimuti mitos yang saya maksud di atas.

Setelahnya, kami menghabiskan waktu bercerita dan mengunjungi pegiat-pegiat seni yang ada di Maek, bercerita tentang legenda-legenda yang berkembang di Maek, seperti cerita tentang Bukik Posuak, Bukik Pao Ruso, Bukik Tungkua Jaguang, serta Sarasah Barasok yang katanya menyimpan Candi. Bahwa pada dahulunya tersebutlah seorang yang sakti bertubuh besar, segala perbuatan anak nagari mesti seizin beliau. Hingga pada suatu ketika anak nagari pergi berburu tanpa seizin beliau. Setelah mendapatkan rusa diperburuan maka diberikanlah paha rusa tersebut ke orang sakti tersebut, oleh karena merasa tidak dihargai maka murkalah dia, diambilnya paha rusa tersebut dan dilemparkannya sekuat tenaga mengenai batu besar di puncak bukit hingga batu tersebut tembus, lalu paha rusa tadi hinggap pada sebuah padang ilalang dan menjadi sebuah bukit, yang kemudian dinamai dengan bukit Pao Ruso, dan batu yang tembus tadi dinamai dengan Bukit Posuak, begitu kira-kira legenda yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Hampir malam. Kami memutuskan menginap di rumah orang tua kawan kami tadi di Jorong Ronah. Tampak sekali antusiasme orang-orang Maek menerima tamu yang datang dari luar, hampir tengah malam seluruh keluarga kawan itu menyambut kami, baik ayah, ibuk, nenek, kakek, sepupunya berdatangan ingin terlibat dalam suasana yang akrab, sehingga menghadirkan kesan mereka adalah keluarga yang hangat. Meski sudah hampir dini hari mereka masih terjaga, begitu pula mereka menyambut tamu. Salut.

Sebenarnya pertama kali saya mengetahui negeri Maek bermula ketika saya hobi membolak balik buku Sejarah. (Ah, begitu malasnya saya sebagai pelajar untuk membaca, hanya membolak balik saja, ketika ada gambar yang menarik baru dibaca, kalau tidak ada gambar yang menarik tentu tidak dibaca, pelajar macam apa pula itu). Saya melihat gambar batu besar ditegakkan di tanah yang bagian atasnya seperti dibentuk serupa ditatah dengan rapi sekali, juga ada beberapa yang diukir. Batu tersebut adalah Menhir.

Menhir merupakan bahasa Keltik, bahasa yang digunakan oleh penduduk tanah Keltik yang mendiami wilayah Wales, Irlandia, Skotlandia. Menhir terdiri dari dua kata yaitu Men=batu dan hir=panjang, Menhir adalah batu tunggal yang berdiri tegak diatas tanah. Menurut para ahli, batu tersebut berasal dari kebudayaan Megalitikum yang berkisar kira-kira 6000 tahun sebelum masehi. Tentunya gambar Menhir tersebut sangat menyita perhatian saya kala itu, meskipun gambarnya hasil fotokopian sangat berbeda dengan gambar foto mantan presiden Soeharto di halaman setelahnya.

Kenapa tidak, dengan ditemukannya peninggalan tersebut berarti di negeri saya pernah ada sebuah peradaban tua yang jauh lebih tua dari kejayaan sejarah Nusantara (baca: Jawa), tetapi kenapa, kebudayaan tua, yang seharusnya menjadi pangkal untuk kebudayaan sesudahnya, hanya dipandang biasa-biasa saja oleh masyarakatnya.

Begitu banyak Menhir yang ditemukan di Maek, oleh karena itu Maek diberi gelar Negeri 1000 Menhir. Dari sekian banyak banyak situs yang tersebar, yang terjaga dan terpugar hanya beberapa saja, di antaranya: situs Balai-Balai Batu Koto Gadang, Situs Menhir Ronah, Situs Menhir Bawah Parit Koto Tinggi, situs Sopan Gadang.

Menurut beberapa orang, masing-masing situs tersebut berbeda fungsi dan kegunaannya, ada yang memang berfungsi sebagai pekuburan, juga ada yang berfungsi sebagai tempat memuja dan memuji.

Masyarakat Maek gemar sekali menceritakan tentang bagaimana berdatangannya peneliti-peneliti yang mengkaji situs Menhir yang tersebar di negeri mereka, baik itu peneliti dalam negeri maupun peneliti luar negeri. Akan tetapi, ketika ditanya tentang hasil penelitian yang pernah disosialisasikan dan dipublikasikan sebagai sebuah produksi pengetahuan bagi masyarakat setempat, mereka malah menggelengkan kepala. Artinya memang belum ada hasil penelitian, dari para peneliti yang pernah datang dan mengkaji situs-situs Menhir di Maek, yang didistribusikan pada masyarakat Maek.

Dengan kata lain, Menhir Maek beserta penduduknya, hanyalah objek belaka. Imbasnya, pengetahuan yang berhasil diproduksi dari penelitian para peneliti tadi, pada akhirnya menjadi sesuatu yang eksklusif, milik para akademisi saja, tidak mewujud menjadi semacam pengetahuan kolektif bagi masyarakat Maek, yang akan menjalar dengan sendirinya ke daerah-daerah yang bertetangga dengan Maek.

Sebagai contoh: sebuah album foto tentang Menhir Maek yang kami lihat di rumah seorang warga dekat situs Balai-Balai Batu Koto Gadang, yang, katanya dikirim oleh Anselm Kissel seorang fotografer asal Jerman. Melihat bagaimana kwalitas hasil cetakan foto-foto tersebut, serta teknik fotografinya, terasa dengan jelas bahwa dia adalah fotografer profesional. Anda akan terkesan melihat landscape hasil jepretan Bukik Tungkua Jaguang dari kejauhan. Begitu juga Bukik Posuak dari arah dekat, serta tekstur-tekstur Menhir yang difoto dari jarak dekat.

Pada satu foto yang terdapat di dalam album tersebut terlihat Anselm Kissel berfoto bersama dengan sekitar 10 orang lebih, di antaranya ada orang asing dan pribumi. Di antara orang asing tersebut ada anak-anak, remaja dan orang dewasa, sepertinya itu adalah sebuah keluarga atau sanak familinya. Apakah Anselm Kissel membawa keluarganya ke Maek, lalu tinggal di Maek selama beberapa waktu hanya untuk mengambil foto sebagai seorang fotografer profesional (atau peneliti)? Atau Anselm Kissel ini hanya datang berlibur sambil mengambil foto-foto beberapa situs megalitik yang ada di Maek? Saya rasa tidak.

Saya pikir foto-foto tersebut dipakai sebagai bahan kajian atau yang serupa itu. Jika foto tersebut sebagai materi untuk suatu kajian, lantas kenapa yang dikirim hanyalah album foto tanpa penjelasan apa pun. Tanpa distribusi pengetahuan yang lebih konkret pada masyarakat lokal, sebentuk jurnal, misalnya. Ah, entahlah.

Di sepanjang jalan pulang ke Payakumbuh saya dan kawan yang berbonceng di belakang tak habis pikir, begitu banyak spekulasi mengenai Maek yang terletak di Kecamatan Bukit Barisan, Kab. 50 Koto ini. Sepertinya ada “sesuatu”yang tersembunyi di negeri tersebut. Atau yang secara sengaja disembunyikan oleh para peneliti profesional. Yang jelas, para peneliti masih saja berdatangan, namun nyaris tidak ada hasil penelitian yang dipublikasikan untuk memproduksi pengetahuan kolektif (bersama) sebagai sebuah acuan sejarah. Baik bagi sejarawan lokal, orang-orang yang menyukai sejarah, maupun masyarakat Payakumbuh dan Kabupaten 50 Koto yang peduli dengan sejarah yang ada di sekitar nagarinya sendiri.