Pilih Laman

Sabtu, 10 Februari 2018 | teraSeni.com~

Selepas karya terakhir di sesi B, penonton diberikan waktu sekitar 15 menit untuk beristirahat sebelum melanjutkan pertunjukan sesi A, begitupun sebaliknya. Pertunjukan sesi A diawali karya tari kontemporer bertajuk “Courtly Behaviour”. Karya kolaborasi dari Eng Kai Er (Singapura), Colleen Coy (USA/Timor-Leste), Lee Ren Xin (Malaysia), dan Nitipat Pholchai (Thailand) ini dipertunjukkan di sebuah lapangan tenis.

Selepas penonton telah duduk di pinggir lapangan, seorang laki-laki (Nitipat) berjalan sambil bersenandung dengan bergegas menuju ke lapangan. Di lapangan telah tergeletak tiga tubuh yang teronggok tak bergerak, satu di antaranya terlentang dengan keset menutupi wajahnya (Lee), satu dengan jas hujan tergeletak di antara net tenis (Colleen), dan satu lainnya di dekat tiang penerangan lapangan (Eng). Kemudian Eng mulai bergerak dengan basis tubuh balet namun laiknya tengah bermain tenis, sedangkan Lee mulai bangkit menatap kosong dengan gerak laiknya pemanasan, dan Colleen merentangkan tangan laiknya net di tengah lapangan. Melihat itu semua, Nitipat hanya terdiam di pinggir lapangan.

Courtly Behaviour-Teraseni.com
Tampak interaksi antar masing-masing penari
Foto: Michael HB Raditya

Sepanjang karya ini berlangsung, kiranya eksplorasi dan interaksi dari keempat kolaborator tidak berubah secara signifikan. Semisal interaksi antar penari yang tidak intens, gerakan-gerakan eksplorasi yang bertahap, pencarian pola ruang yang cukup arbitrer, dan tanpa alur cerita yang jelas—dapat ditautkan dengan post dramatic. Alhasil penonton tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada pertunjukan, bahkan hingga pertunjukan usai.

Atas dasar karya “Courtly Behaviour”, keempat kolaborator berhasil mempertunjukkan karya dengan impresi yang berbeda dengan karya-karya lainnya. Sebagai pengayaan orientasi dan wacana pertunjukan, kiranya karya ini cukup berhasil. Namun agaknya karya ini tidak tepat jika diperuntukkan untuk penonton dengan kecenderungan selera tari hiburan, akrobatik, atau bercerita.

Pertunjukan selanjutnya bertajuk “The Passage”, karya dari koreografer Malaysia JS Wong. Alih-alih dipertunjukan secara langsung, karya ini ditampilkan oleh Tai Chun Wai di arena rerumputan. Pertunjukan ini merupakan pengembangan karya tari rotan yang ditautkan dengan perjalanan waktu. Pertunjukan diawali dengan seorang laki-laki bertelanjang dada (Wai) melangkah perlahan dengan sebilah tongkat di tangannya. Sedangkan di sisi lain, ada seorang laki-laki yang memukul sebuah lonceng. Lonceng yang berbunyi secara teratur tersebut memberikan pola bagi penari tongkat tersebut.

The Passage-teraseni.com
Seorang laki-laki dengan sebilah tongkat
Foto: Michael HB Raditya

Penari dengan tongkat tersebut berjalan perlahan membentuk sebuah lingkaran—walau tak sempurna—dengan penonton berada di dalamnya. Lintasan tersebut lantas menjadi ruang bagi penari. Dalam mengisi gerak di dalam lintasan tersebut, ragam ayunan dan kuda-kuda ditampilkan. Pertunjukan berakhir selepas gerakan dan kecepatan melangkah penari semakin cepat. Dari pola pertunjukan yang statis tersebut, impresi yang muncul mengarah pada kesan kedalaman dalam sebuah perasaan.

Sedangkan pertunjukan selanjutnya bertajuk “Maybe, Not Yet” dari kolaborasi koreografer Malaysia, Fauzi Amirudin dan koreografer muda Filipina, Sarah Maria Samaniego. Pertunjukan ini mengusung ide yang cukup abstrak, yakni ketergantungan yang menuju pada keseimbangan, atau perasaan menunggu yang terlunaskan. Pertunjukan ini seakan menjadi rangkaian ekspresi yang terkemas dengan menarik dan harmonis.

maybe not yet-teraseni.com
Sang penari bediri didepan kaca kemudian berteriak
Foto: Michael HB Raditya

Pertunjukan ditampilkan di sebuah rumah berkaca dengan penonton berada di luar rumah tersebut. Diawali dengan Fauzi dan Sarah yang tengah bersantai di kursi santai, lantas Fauzi mendekati kaca seraya tengah berteriak. Hal yang cukup menarik, karya ini berisikan gerakan-tubuh everyday live, mulai dengan gekstur menunggu, bersantai, hingga bergerak leluasa. Di karya tersebut, interaksi antar Fauzi dan Sarah terkesan serasi, semisal ketika mereka tengah menari berpasangan di pagar. Pertunjukan lalu ditutup dengan perluasan ruang dari Fauzi yang pindah ke lantai dasar dari bangunan tersebut. Suguhan ketiga dari sesi A ini seakan memberikan visual dan rangkaian gerak yang manis nan menawan.

Selanjutnya, karya keempat dalam sesi A bertajuk “Reflets sur l’Eau” atau yang bisa diterjemahkan dengan refleksi atas air. Karya dengan basis balet yang kuat ini dikoreografikan oleh Patrick Suzeau, seorang profesor tari dari University of Kansas dan co-direktur COHAN/SUZEAU Dance Company. Dipertunjukan di dekat kolam, karya ini ditarikan oleh Amelia Feroz, Fara Ling Shu Sean, Yap Chiw Yu, Tan I-Lyn da Yap Ving Yee dengan penata musik, Jan Jirasek.

Reflets sur l’Eau-Teraseni.com
Tampak penari dengan basis gerak balet
Foto: Micahel HB Raditya

Sebagaimana basis balet yang cukup kuat, karya ini mengedepankan unsur levitasi dalam balet. Didominasi dengan gerakan seragam dan bersamaan, kelima penari bergerak terlatih. Tidak melulu menampilkan lima penari secara bersamaan pada setiap waktu, kelima penari kerap terbagi di antara ruang depan area penonton dan jembatan di tengah kolam. Kendati terpisah, para penari seakan menjalin harmoni gerak yang menarik dan terkait satu dengan lainnya. Terinspirasi dari refleksi terhadap air, impresi mengayun dan mengalir terasa sangat kuat di dalam pertunjukan tersebut. Berbeda dengan nomor-tari lainnya yang menggabungkan unsur balet dengan modal gerak lainnya, pada karya ini balet memang menjadi etude utama dalam penciptaan gerak, momen, hingga perwujudan atas gagasannya.

Pertunjukan penutup pada sesi A menampilkan karya bertajuk “Bloom”. Karya ini merupakan hasil kolaborasi dari dua koreografer Indonesia, Fadilla Oziana dan Citra Pratiwi serta koreografer Thailand, Sanoko Prow. Karya tersebut dipertunjukan pada sebuah pelataran dengan kolam renang di salah satu sisinya. Di dalam kolam renang tersebut terdapat seorang penari (Sanoko) yang diam membeku membelakangi penonton, sedangkan penari lainnya Citra duduk termangu di sebelah sebatang pohon, dan Dila dengan kuda-kuda silatnya.

bloom-teaseni.com
Penari Dilla Oziana dengan gerakan silat
Foto: Michael HB Raditya

Diawali dengan ragam gerak silat, Dilla mulai menunjukkan ketangkasan gerak pertahanan dan serangan. Bersamaan dengan hal tersebut, Citra mulai bersenandung hingga mengucap kata-kata secara berulang laiknya mantra. Sedangkan Sanoko mulai membalikan badannya ke arah penonton dengan wajah putih dan mata terpejam. Tidak lama berselang, iringan musik pop dengan irama semangat melatari gerakan Dilla dan Citra. Sanoko yang sebelumnya memejamkan mata mulai merespon musik dengan gimik wajah yang ekspresif, mulai dari tersenyum, cemberut, marah, bahagia, menunggu, dan sebagainya.

Setelahnya Citra mulai berjalan dan menari di tengah penonton. Bersamaan dengan itu, Dilla dan Sanoko menghilang. Di antara penonton tersebut, Citra mulai menyerap perhatian penonton dengan menari tarian Jawa. Setelahnya Citra mulai terbangun melangkah ke area belakang penonton—yang adalah tepian sungai—dan mengucap “I Love You”, “Thank You”, “Terima Kasih” secara berulang. Beberapa detik kemudian, sebuah sampan mendekat. Di atas sampan Sanoko yang tengah mendayung dan Dilla mengabadikan gambar dengan ponselnya ke arah penonton. Menghampiri tepian, sampan tersebut menjemput Citra untuk ikut. Lantas Citra terus meneriakan secara berulang hingga kapal menjauh pergi. Pertunjukan usai. Bertolak dari karya tersebut, kiranya “Bloom” memberikan gambaran lain atas akumulasi ekspresi dan perasaan dari sebuah hal. Di mana terjalin kebahagiaan sekaligus kesedihan dalam satu keadaan.

Antara Keindahan Gerak hingga Kekayaan Orientasi Pertunjukan

Sepuluh karya telah berhasil dipentaskan dengan cukup baik di pelbagai ruang Rimbun Dahan, Malaysia. Bertolak dari pertunjukan Dancing in Place 2018, adapun pelbagai catatan dalam segi perwujudan peristiwa seni tersebut.

Pertama, kegiatan ini terbilang positif dalam menjaring koreografer—yang didominasi anak muda—dalam menjalin kerja kesenian antar negara. Sebagaimana penyelenggara yang menyatakan bahwa program ini telah diinisiasi sejak tahun 2009, maka semangat dan konsistensi patut diapresiasi baik. Konsistensi ini juga kiranya yang membuat beragam strategi dalam mengemas pertunjukan dengan cukup baik.

Kedua, pada dasarnya durasi pertunjukan dari setiap karya terbilang cukup menjebak. Di mana setiap karya hanya berdurasi 10 hingga 15 menit, tidak lebih. Tentu kita bisa berdalih sebuah karya tidak dapat dibatasi oleh waktu, biarlah rasa yang menggiring, namun aturan waktu ini membuat koreografer harus memutar otak dalam memeras atau menyederhanakan ide dan gagasan mereka secara ramping. Tentu hal ini tidak mudah.

Ada dari mereka yang berhasil, ada dari mereka yang keteteran. Terlebih, usut punya usut karya kolaborasi ini terbilang cukup singkat dalam proses penciptaannya. Apalagi karya yang dipentaskan didominasi karya kolaborasi yang lazimnya membutuhkan waktu lebih panjang. Dalam hal ini, kita dapat katakan bahwa waktu mereka berproses kurang ideal dan dapat menjadi halangan dalam bekerja, tapi hal ini dapat menjadi pembelajaran dalam efektivitas pengkaryaan. Dengan adanya kondisi tersebut, kiranya dapat membantu kita untuk tidak memukul rata semua karya dengan kacamata yang sama, namun dapat lebih menimbang antara karya baik dan karya layak.

Ketiga, tidak hanya menampilkan karya tunggal dan kolaborasi, para koreografer turut merespon pelbagai ruang di tempat tersebut. Respon dari pengkarya pun cukup beragam, ada dari mereka yang menggunakan area-area spesifik hanya sebagai ruang pertunjukan, ada dari mereka yang menjadikan ruang pertunjukan bagian dari karya mereka. Semisal “Escape”, “Maybe, Not Yet”, dan “Courtly Behaviour”, “Bloom” dapat menjadikan arena pertunjukan turut terlibat di dalam karya. Kesadaran ruang dalam pengkaryaan kiranya menjadi hal yang menarik dalam menciptakan sebuah karya.

Keempat, kendati tidak semua karya berhasil menyita perhatian, namun dari beragam karya tersebut, kita dapat melihat sejauh mana perkembangan orientasi dan wacana tari dari representasi negara terlibat. Secara lebih lanjut, kesepuluh karya ini tidak hanya diartikan sebagai sebuah presentasi karya, Dancing in Place tidak hanya ditafsirkan sebagai ruang pertunjukan, namun pertunjukan ini dapat kita fungsikan sebagai pemetaan seni pertunjukan tari di Asia Tenggara, khususnya masa depan tari karena keterlibatan koreografer muda.

Bertolak dari hal tersebut, pemetaan ini kiranya tidak hanya berguna bagi penonton semata, di mana tidak hanya memberikan keberagaman gerak dan orientasi pertunjukan masing-masing negara, namun turut berdampak pada pada koreografer atas kerja kolaborasi mereka. Ruang persilangan—tidak hanya secara personal, tetapi sosial dan kultural yang berbeda di setiap tempatnya—ini kiranya dapat memberikan perspektif lain bagi para koreografer dalam memperkaya perbendaharaan mereka atas gerak, konsep, gagasan, dan perwujudannya.

Hal ini tentu menjadi kesempatan yang baik untuk para koreografer untuk tidak pernah puas dan terus belajar. Jika ruang semacam ini diperbanyak—tentu dengan durasi waktu proses yang lebih panjang—niscaya masa depan tari Asia Tenggara akan berkembang semakin bertaring.[]