Senin, 26 Maret 2018 | teraSeni.com~
Pada cahaya yang temaram, empat orang perempuan dengan gumpalan besar di perutnya menari dengan seragam. Sedangkan di bagian belakang panggung terbentang layar dengan sorotan video yang beraneka ragam. Setelahnya tersorot ke layar, wajah bayi ketika di dalam perut sang ibu laiknya gambar dari ultrasonografi (baca: USG). Perlahan denting demi denting piano dimainkan dengan lirih, sementara seorang perempuan menggeliat dan bergerak acak di tengah bentangan layar terpampang.
Alih-alih terpisah satu sama lain, setiap gerakan dari perempuan dengan gumpalan di perutnya tersebut direspon persis oleh video mapping. Dari pertautan disiplin seni tersebut, karya yang menyoal relasi antara ibu dan anak ini telah memanjakan mata dan menghibur penonton kebanyakan.
 |
Tampak empat penari dengan gumpalan besar di perutnya
Foto: kelirdotnet |
Secuil peristiwa di atas merupakan potongan pertunjukan dari karya kolaborasi bertajuk Mother Earth yang diselenggarakan pada 13 Maret 2018 di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasumantri (PKKH UGM) Yogyakarta. Pertunjukan yang diwujudkan sebagai jawaban dari rasa kegundahan Mila Rosinta (koreografer) atas anggapan sulitnya perempuan berkarya pasca melahirkan. Secara lebih lanjut, Mila bemaksud menautkan rasa ego dari sang ibu terhadap anaknya. Hal ini ditautkan guna memperlihatkan ekspresi kasih sayang dari seorang ibu terhadap anak.
Atas dasar itulah, Mila memformulasikan perjalanan kehamilan hingga melahirkan menjadi sebuah karya. Salah satu fase kehidupan manusia, laiknya rites of passage atau ritus peralihan yang diartikulasikan oleh seorang etnografer-folkloris, Arnold Van Gennep. Selanjutnya, inisiatif pertunjukan ini terjalin ketika Mila bertemu praktisi yang bernasib tidak jauh berbeda, Luise Najib—penyanyi dan pencipta lagu. Dengan Luise, gagasan membuat pertunjukan tersebut terealisasikan.
 |
Sebuah adegan perempuan menggendong anak
Foto: Kelirdotnet |
Alih-alih hanya menampilkan gerak tari dan latar suara dari Mila dan Luise, pertunjukan ini melibatkan pelbagai praktisi seni antar bidang, yakni: Gardika Gigih (Pianis) dengan alunan yang menyihir; Lia Pharaoh (Make Up Artist) dengan polesan wajah yang berkarakter; Jenny Subagyo (Hair Stylist) dengan penataan rambut yang mempertebal karakter penampil; Manda Baskoro (Fashion Designer) dengan tata busana yang menawan; Rio Pharaoh (Fotografer) dan Yogo Risfriwan (Videografer) dengan foto dan video yang berkualitas guna material video mapping; Kokoksaja (Visual Artist) dengan rangkaian visual yang menawan; Gading Paksi (Stage Manager) yang mengawal pertunjukan dan menyulap PKKH dengan cakap; dan Mila Art Dance dengan beberapa penarinya, di antaranya: Rizka YP, Krisna Bening, Radha Puri, dan Valentina Ambarwati, yang telah menari dengan penuh energi. Sebuah pertunjukan tari yang kolaborasi dengan pertautan antar bidang seni yang cukup lengkap.
Pengorbanan Ibu dalam Pertunjukan
Pertunjukan diawali dengan sebuah tayangan trailer dari pertunjukan Mother Earth yang beberapa hari sebelum pertunjukan telah disebarkan melalui aplikasi instagram di dalam gawai. Tayangan tersebut ditembakkan pada sebuah lembar kain yang membujur sisi belakang panggung. Setelahnya dengan cahaya yang temaram, dua orang dengan perut bergumpal (baca: hamil) berjalan dari sisi yang bersebarangan. Bertemu di satu titik mereka bersimpuh, salah satu di antaranya mulai bersenandung dan bernyanyi. Sementara itu, di akhir lantunan, empat orang lain memasuki panggung dengan perlahan. Mereka membentuk pola berjalan yang saling berlawanan. Sedangkan di belakang panggung, layar terbentang menampilkan video mapping berhiaskan bintang dengan api yang membara berada di tengah panggung. Setelahnya, satu orang di antara mereka terpisah dari kelima orang lainnya.
Kelima orang tersebut mulai berjalan beriringan ke sisi kiri penonton. Berdiri bersampingan, mereka mulai bergerak seirama dan serentak, mulai dari memegang perut, mengarahkan perutnya ke sana dan kemari, menggeliat, hingga mengerang demi menahan sakit. Sementara itu, layar menampilkan wajah bayi laiknya di dalam kandungan, persis dengan teknik diagnosa pemgambilan gambar melalui ultrasonografi (baca: USG). Pada adegan ini, Mila dkk berupaya memunculkan impresi kesakitan dengan gerakan kesakitan dan erangan kesakitan. Hal yang cukup disayangkan, motif kesakitan justru terasa terhambur jika disandingkan dengan video mapping yang telah gamblang menunjukkan gambar bayi. Dalam hal ini, Mila sebenarnya dapat menambahkan kedalaman—atau bahkan penyederhanaan—gerak pada satu hingga dua motif kesakitan saja.
Selanjutnya seorang di antaranya mulai terpisah dan berpindah ke bagian tengah pada belakang layar video mapping. Ditemani rangkaian denting yang tercipta oleh Gardika Gigih, Mila menari dengan pelbagai eksplorasinya, mulai dari keadaan perut bergumpal (baca: hamil) hingga menghilang (baca: melahirkan). Setelahnya Mila merayap dari bawah layar ke depan layar terbentang, wajahnya bak berbahagia telah melahirkan seonggok tubuh yang lain.
Cahaya pun perlahan meredup, Mila menghilang dalam gelap. Sedangkan empat penari lain muncul pada sudut yang lain.
Kemudian, Video Mapping mulai perlihatkan sebatang pohon kering berukuran besar. Sementara empat penari lainnya mulai bergerak berayun lesu, dengan tangan berjuntai. Pohon berangsur tumbuh dengan kemuculan Mila, dan keempat penari lainnya mulai saling melemparkan kendi secara berpola. Setelahnya, Mila berdiri pada salah satu kendi di bagian tengah panggung, sedangkan tiga kendi lainnya terletak di atas kepala, dan di kedua tangannya dengan posisi menengadah. Dari tubuh Mila, ditariknya empat ranting pohon yang terbentang ke empat arah berlawanan. Pada akhir adegan tersebut, Mila diangkat oleh keempat penari ke udara dan membanting salah satu kendi ke bagian depan panggung. Secara tersurat, Mila ingin mengartikulasikan relasi antara ibu dan anak yang saling terikat satu sama lain.
 |
Empat orang penari mengangkat seorang lainnya dengan kendi diatas kepalanya
Foto: Kelirdotnet |
Pada adegan berikutnya, Mila kembali masuk ke dalam panggung dengan seorang balita berada di pelukannya. Sedangkan empat penari lainnya menggendong satu sama lain, berupaya menunjukkan kedekatan dan kasih sayang. Alih-alih terus berlanjut, sang balita dipisahkan dari sang ibu (baca: Mila), laiknya pergi dan tak kembali. Merespon keterpisahan itu, dengan berwajah cemas, Mila berteriak dengan sendu. Di sisi yang lain, keempat menari menggendong sang bayi. Satu hal yang cukup menarik adalah ketika sang bayi mulai menangis karena kaget mendengar suara teriakan yang justru direspon penonton dengan tawa. Pada akhirnya sang bayi kembali ke dalam pelukan ibunya. Sementara itu keempat penari keluar dari panggung disusul oleh Mila dan balitanya.
Dalam menutup karya, dengan cahaya yang temaram, suara denting piano dari Gardika Gigih kembali terdengar. Sementara itu Luise yang memeluk balitanya menyanyikan sebuah lagu yang bertajuk Winter’s Fault. Konon lagu ciptaannya ini telah dibuatnya sejak 2012, namun baru pertama dinyanyikan di depan umum pada pertunjukan tersebut. Sambil terus bernyanyi, ia melangkah dari sisi kanan panggung berjalan meratap hingga ke luar panggung. Impresi mendalam terasa pada bagian ini. Sementara itu seorang perempuan lainnya dengan balita di dalam pelukannya berjalan lirih memasuki panggung dari bagian belakang. Perlahan dilangkahkannya kaki hingga ke area depan panggung, menatap dengan wajah penuh keyakinan. Pertunjukan usai.
 |
tampak seorang perempuan serupa sedang menyanyi untuk anaknya
Foto: Kelirdotnet |
Pertunjukan Menghibur dan Narasi Tanggung
Riuh rendah tepuk tangan penonton menyelimuti suasana seusai pertunjukan Mother Earth dilangsungkan. Ratusan penonton yang memadati PKKH UGM turut memberikan apresiasinya, mulai dari pujian, salam, dan swafoto mengalir ke penampil dan penyelenggara. Sebagai sebuah pertunjukan, pujian harus dilayangkan ke tim Mother Earth atas keberhasilan pengelolaan, manjerial, dan perwujudan gagasan di atas panggung. Secara lebih lanjut, tim Mother Earth secara sistematis—dengan promosi dan publikasi—telah berhasil mendatangkan target penonton, bahkan melebihi kapasitas—yang akhirnya banyak penonton tidak mendapatkan tiket dan mendaftar waiting list. Tidak hanya itu, kiranya penonton turut terpuaskan secara visual, baik sulapan artistik panggung dari Gading Paksi dkk dan pesona video mapping dari Kokoksaja yang memanjakan mata. Sangat menghibur!
Namun, terdapat hal lain yang kiranya menarik, di mana banyak penonton justru pulang dengan wajah sumeringah dan canda tawa, padahal pertunjukan berisikan narasi tentang pengorbanan ibu dan perjalanan fase kehamilan hingga melahirkan. Lantas, apakah pesan atau gagsan pertunjukan tersampaikan dengan baik? Tentu semua mempunyai jawabannya masing-masing, tapi dalam karya ini ada kiranya yang perlu ditilik lebih lanjut: pertama, karya kolaborasi seyogianya menempatkan setiap bidang pada porsi yang sesuai—baik secara penamaan ataupun kerja pertunjukan. Dalam hal ini, Mila sebagai inisiator—baik sadar ataupun sebaliknya—muncul sebagai aktor utama, sedangkan porsi kolaborator lain terasa tidak terlalu kokoh dalam pondasi pertunjukan.
Untuk penamaan, hal ini cukup terlihat dengan pernyataan penyelenggara di buku program, yakni: “Inilah saatnya membuat ruang baru dalam berkarya. Dengan mengajak beberapa seniman dari berbagai lintas disiplin seni yang disatukan menjadi sebuah pertunjukan tari , diharapkan dapat menambah khasanah baru bagi bagi pertunjukan seni Indonesia”. Dalam hal ini, penyelenggara berhasil mewujudkan keterjalinan lintas disiplin dalam ruang kekaryaan, namun penyelenggara agaknya perlu lebih ketat menerapkan praktik kolaborasi, atau praktik kerja bersama. Alhasil kesan yang muncul adalah pertunjukan tari yang berkolaborasi dengan bidang lain, yang seyogianya telah berkelindan tanpa embel-embel bidang tertentu, yakni “pertunjukan kolaborasi”.
Jika sudah selesai dengan konsepsi di atas, kiranya tim penyelenggara dapat memformulasikan ‘isian’ pertunjukan dengan mendalam. Semisal dengan menimbang dan mencari motif dan gerakan tari yang tidak terlalu wantah—terlebih telah terbantu dengan adanya kolaborator lain, semisal peran video mapping yang cukup kuat. Selain itu dalam struktur pertunjukan, dalam karya ini penyelenggara menyulam sebuah cerita yang terstruktur dan dramatik. Hal ini memang membantu penonton membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya pada setiap adegan, namun agaknya pilihan lain, semisal post dramatic dapat menjadi pilihan tim penyelenggara untuk memberikan kejutan dan ketidakterkiraan impresi pada penonton.
Sedangkan dalam mewujudkan pertunjukan, turut diperlukan gagasan yang matang. Dalam hal ini, penggagas perlu memperjelas konsep ataupun gagasan yang melatarbelakangi karya tertaut. Penyematan terma Mother dan Earth, kiranya belum terlalu diresapi dalam pemaknaan dan pengejewantahannya. Semisal di dalam buku program tertulis “Mother Earth adalah personifikasi umum alam yang fokus pada aspek-apsek pemberian kehidupan dan memelihara alam dengan mewujudkannya dalam bentuk ‘ibu’.” Dari kutipan tersebut, penyelenggara memang telah menautkan konsep bumi dan ibu, namun penyelenggara perlu memberikan pemaknaan baru atas padanan terma tersebut. Alhasil, tampak jelas apakah karya tersebut merepresentasikan perempuan—yang dirayakan beberapa hari sebelum pertunjukan, yakni 8 Maret—, ibu—yang dirayakan 22 Desember—, bumi—yang dirayakan 22 April—, ataupun yang lain.
 |
para penari dan kendi
Foto: Kelirdotnet |
Bertolak dari catatan tersebut, ada hal yang perlu diapresiasi baik selain pengelolaan dan manajerial, yakni modal awal pertunjukan yang dilandasi dari kegelisahan. Dalam hal ini, mewujudkan kegelisahan menjadi sebuah pertunjukan bukanlah soal yang mudah di mana diperlukan tekad, semangat, dan tenaga untuk mewujudkannya—terlebih pertunjukan kolaborasi. Pasalnya kegelisahan dimiliki semua orang, namun belum tentu semua orang berani mewujudkannya. Dengan begitu, padanan semangat—laiknya yang dimiliki penyelenggara—dan kedalaman pertunjukan—catatan tertaut—dapat diracik guna memberikan pertunjukan yang tidak hanya menghibur, namun mencerahkan.[]