Minggu, 8 Juli 2018 | teraSeni.com~
Hanya muram yang tertinggal di wajah Tala ketika melihat seonggok tubuh terbaring tak bernyawa. Puno, sang ayah telah berpulang menghadap yang empunya kuasa. Untuk mewakili kegundahannya, Tala menorehkannya pada berlembar-lembar kertas. Mengetahui bahwa Puno masih berada di sekitarnya, di hari ke-40 ia merangkai berpucuk-pucuk surat menjadi kapal laut yang siap berlayar ke nirwana bersama Puno, sang ayah. “Kapal laut” tersebut turun perlahan dari langit-langit secara bersamaan, membuat kesan haru sekaligus takjub. Isak tangis dari penonton terdengar bersusulan, pertunjukan diakhiri dengan sangat menyentuh.
Adalah Puno: Letters to The Sky atau Surat ke Langit, sebuah karya dari kelompok teater boneka, Papermoon Puppet Theatre yang berhasil digelar dengan memuaskan di IFI-LIP Yogyakarta. Kelompok teater boneka asal Yogyakarta ini memang dikenal cakap dalam merangkai cerita sekaligus mewujudkannya. Pada karya berdurasi 50 menit ini, Papermoon Puppet Theatre meracik cerita tentang bagaimana menghadapi kehilangan orang terdekat. Cerita personal tersebut lantas Papermoon Puppet Theatre wujudkan dengan sentuhan artistik dan estetik yang tidak kalah menawan.
![]() |
Pertunjukan Teater Boneka, Papermoon Puppet Theatre di IFI-LIP Yogyakarta Foto: Dokumentasi Papermoon Puppet Theatre |
Kerja sama apik terjalin antar Maria Tri Sulistiyani (konseptor, direktur artistik, produser, sutradara, lighting designer);Iwan Effendi (konseptor, pendesain boneka, direktur musik); Yennu Ariendra (komposer musik pertunjukan); Anton Fajri (puppet engineer dan tim artistik); Beni Sanjaya, Pambo Priyojati, Rangga Dwi Apriadinnur (tim artistik); Retno Intiani (kostum); Andreas Praditya (manajer produksi); Gading Paksi (technical director) dalam menjalin pertunjukan sedemikian rupa.
Dengan beragam sentuhan, karya empat tahun silam tersebut direproduksi. Tercatat bahwa karya ini pernah dipentaskan pada September 2014 di Festival Salihara di Teater Salihara, Jakarta. Karya dengan versi baru ini lalu dipentas kelilingkan di Thailand, Singapura, dan Filipina pada bulan Mei hingga Juni 2018 secara independen. Setelah Asia Tenggara, pada akhirnya Papermoon Puppet Theatre menggelar pertunjukan di tanah kelahirannya.
Di Yogyakarta, karya ini menuai antusias penonton yang besar. Di mana jadwal pentas yang semula digelar pada tiga hari di awal bulan Juli, yakni 5, 6, dan 7 Juli 2018 dengan dua pertunjukan di setiap harinya, menjadi bertambah satu slot pertunjukan di hari terakhir. Bahkan, Papermoon Puppet Theatre harus membuka sesi pertunjukan tambahan di tanggal 8 Juli 2018. Dari jadwal pertunjukan tersebut, kiranya terhitung sekitar 1500 kepala—baik berasal dari Yogyakarta maupun luar daerah—ikut merasakan rindu yang dirajut Papermoon Puppet Theatre untuk mereka yang telah pergi.
Kisah Menyentuh dengan Perwujudan Menawan
Pertunjukan Puno Letters to The Sky mempunyai struktur cerita tegas, dengan detail yang jelas. Diawali dengan bagian yang cukup unik yakni dalam gelap muncul roh yang bersusulan, baik dari arena penonton hingga dari atas panggung. Perhatian penonton kemudian terarah pada tubuh gempal bernama Awan Merah, melayang membawa sehelai daun yang tergambar wajah Puno. Di sisi lainnya, tergantung sebuah lingkaran menghasilkan bayangan pepohonan yang disusul dengan sehelai daun bertuliskan Puno terbang dari satu dahan ke dahan lain. Introduksi pertunjukan yang rasanya sungguh menarik.
![]() |
Introduksi pertunjukan dengan visualisasi berupa pohon di salah satu sisi panggung Foto: Dokumentasi Papermoon Puppet Theatre |
Selanjutnya sebuah boneka perempuan duduk bersembunyi di panggung dari sisi kanan penonton, sedangkan boneka laki-laki diperagakan tengah mencari boneka perempuan tersebut. Adalah Puno dan Tala, kisah tentang hubungan seorang ayah dan anak perempuannya. Untuk menggambarkan kebahagiaan tersebut, petak umpat menjadi awal perjumpaan penonton dengan Puno dan Tala. Alih-alih hanya itu, kebahagiaan juga tercurah dengan beragam aktivitas ayah-anak lainnya, seperti menggendong sambil berlarian, memayungi saat hujan, membeli ice cream, hingga “mencari” sosok ibu dari barisan penonton untuk Tala. Bagian awal pertunjukan ini telah berhasil memberikan impresi bahagia. Terlebih turut didukung oleh para peraga boneka yang kerap kali masuk dalam set cerita, semisal ketika Puno membeli ice cream, dan lain sebagainya.
Pada bagian selanjutnya, kebahagiaan tetap dimunculkan walau beberapa hal janggal mulai muncul perlahan. Puncaknya adalah ketika Puno berada di ruang kerja, di mana ia bertatap langsung dengan Awan Merah—laiknya malaikat pencabut nyawa. Puno pun seraya tak percaya dengan apa yang ia lihat, kendati demikian ia berusaha tak acuh padanya. Tidak lama berselang, Tala menghampiri ke ruang kerjanya. Kemudian Puno memberikan benda laiknya teropong bergambar kepada Tala. Lantas Tala melihat pelbagai pemandangan, baik hutan, perkotaan, hingga balon udara berserta gambaran atas ayah dan dirinya di dalam alat tersebut. Di kanan panggung dari penonton, lingkaran-lingkaran yang bergantung menjadi visualisasi atau media pencipta bayangan atas rekaan yang dilihat Tala pada teropong tersebut. Pemanfaatan beragam media tersebut berhasil memberikan referensi estetik atas teater boneka yang dipertunjukkan.
![]() |
Tampak Tala (boneka) sedang melihat sesuatu di dalam teropong Foto: Dokumentasi Papermoon Puppet Theatre |
Kejanggalan itu pun semakin jelas, dalam teropong yang sama Tala melihat seekor burung gagak seakan menghantui. Tala yang takut memeluk sang ayah, Puno lalu memberikannya sebuah lipatan kertas berbentuk kapal laut kepadanya. Dengan riang gembira Tala mengambilnya dan memainkannya di sisi rumah yang berbeda. Namun naas, ketika Puno tengah asik menggambar, ia terbatuk-batuk tak sadarkan diri. Bahkan tak lama berselang, ajal ikut menjemputnya. Dari cerita tersebut, Papermoon Puppet Theatre lantas fase tersebut diartikulasikan dengan detail, semisal ketika Puno mengalami sakratul maut dengan visualisasi tubuhnya yang melayang di udara; atau ketika Puno belum menyadari bahwa ia telah meninggal, lalu ia terbangun dan berupaya menyapa Tala. Hal-hal ini kiranya membawa penonton pada dimensi kematian yang kerap terpikirkan namun jarang digambarkan.
Alih-alih pertunjukan ditutup dengan kesedihan yang berlarut, cerita kembali berlanjut pada kehidupan Tala pasca ditinggalkan sang ayah. Kesedihan yang dirasakan Tala sangat mendalam, ia berusaha menjalani hari hingga ia tersadar bahwa ayahnya masih melindunginya dan berada di sekelilingnya selama 40 sejak hari kematiannya. Tidak divisualisasikan dengan banal, pertunjukan justru menggunakan pelbagai metafora serta simbol tertentu untuk menggambarkan hubungan mereka berdua, semisal ketika Tala digambarkan tengah berjalan di jalan sempit lalu diarahkan oleh Puno untuk dapat melewatinya; atau di kala Tala melompat, lantas Puno membantu menarik tangannya untuk sampai hingga tujuan, dan sebagainya.
Puncak pertunjukan adalah cara Tala mengucapkan selamat tinggal pada ayahnya. Adalah sebuah surat menjadi ruang kesedihan berlarut yang dicurahkan Tala. Pasca Tala mengetahui ayahnya akan pergi ke alam yang berbeda dengan segera, maka ia merangkai berpucuk-pucuk surat yang ia buat menjadi kapal laut, persis seperti yang Puno berikan ketika Tala merasa ketakutan beberapa waktu silam. Di hari keempat puluh Tala mengirimkan surat itu ke langit bersama sang ayah. Tidak kalah menarik, puncak pertunjukan tersebut divisualisasikan dengan estetis, yakni turunnya surat-surat berbentuk kapal laut tergantung secara bersamaan di tengah-tengah penonton, pertunjukan menjadi sangat menyentuh bercampur takjub. Hal yang lebih menyayat, ternyata surat tersebut adalah surat dari mereka yang memang ditinggalkan oleh orang terdekat. Tangis mulai bersusulan dari arena penonton menemani Tala dan puluhan kapal laut tergantung yang cahayanya semakin redup, hingga mati.
Paket Lengkap
Utuh adalah terma yang tepat untuk mewakili pertunjukan Puno Letters to The Sky dari Papermoon Puppet Theater. Pasalnya kelompok teater boneka dari Yogyakarta ini berhasil meracik pertunjukan dengan sangat baik. Jika bicara tema cerita, kiranya Papermoon Puppet Theatre mengangkat persoalan sederhana, yakni kematian. Namun kelompok ini cukup piawai dalam mengambil sudut pandang, yakni menggambarkan kematian dari dua belah sisi, dari yang meninggalkan ataupun mereka yang ditinggalkan. Sudut pandang ini kiranya membuat para penonton mempunyai rasa keterhubungan atau related dengan pertunjukan. Alhasil, basis pengalaman yang sama membuat pertunjukan yang didedikasikan untuk mereka yang telah pergi ini lebih mudah diterima.
Namun tema bukan menjadi satu-satunya alasan mengapa pertunjukan dapat diterima dengan mudah, perwujudan tema pada pertunjukan tidak kalah penting. Tema tersebut “disulap” menjadi satu struktur cerita dengan jalinan kisah menyentuh yang tersemat hampir di setiap bagian. Dengan paduan artistik dan estetik yang cakap, struktur hingga transisi cerita dapat berjalan dengan mulus, semisal penonton yang ikut merasakan ngilu ketika Puno kesakitan hingga menghadapi sakratul maut, ataupun perasaan sedih Tala ketika ia menjalani hari tanpa sang ayah hingga ia menyadari bahwa Puno masih berada di sekelilingnya.
![]() |
Tampak Puno (boneka atas) masih melindungi Tala (boneka bawah) meskipun sudah meninggal Foto: Papermoon Puppet Theatre |
Selain itu, Papermoon Puppet Theatre menggunakan artistik panggung yang sederhana namun mangkus dan sangkil. Semisal set “panggung” tiap adegan yang menggunakan roda sehingga dapat mudah dibawa kemana saja. Dampak dari “panggung dorong” ini kiranya bukan sekedar alasan kemudahan, namun memberikan sudut pandang lain untuk penonton dalam melihat satu adegan. Tidak hanya itu, lingkaran di belakang panggung yang bergantung turut digunakan menjadi media dalam menciptakan bayangan. Bayangan-bayangan tersebut pun mendukung cerita menjadi lebih variatif. Di mana menghadirkan teater boneka dan wayang—merujuk pada definisi bayangan—dalam satu cerita.
Mengingat boneka ciptaan Papermoon Puppet Theatre berwajah nir ekspresi, maka kerja pencahayaan menjadi sangat penting. Tanpa pencahayaan, wajah Puno dan Tala terasa datar dan cenderung ambigu. Alhasil kerja pencahayaan membantu memperkuat impresi perasaan ketika Puno dan Tala bergekstur atau bergerak menjadi semakin kuat. Paduan ini lantas dinaungi dengan komposisi musik yang membuat pertunjukan menjadi hidup. Alih-alih hanya artistik, perwujudan juga terjalin taktis pada kerja peraga yang dapat membuat pelbagai benda menjadi hidup. Empat peraga di atas panggung kiranya membuat Puno dan Tala menjadi satu kisah yang dimiliki oleh penonton. Alih-alih peraga bekerja di belakang layar dan tidak masuk dalam cerita, dalam pertunjukan Puno Letters to The Sky para peraga turut berinteraksi di dalam cerita tersebut. Mereka bermain dengan dua peran sekaligus, sebagai peraga ataupun lawan bicara Puno maupun Tala. Peran ganda ini kiranya membuat pertunjukan lebih cair dan partisipatif, semisal ketika Puno menggoda penonton wanita, ataupun menjadikan kepala penonton sebagai pijakan dalam melompat.
Kiranya kelengkapan tersebut membuat pertunjukan teater boneka yang berlangsung tanpa bahasa tertentu ini justru lebih mudah dinikmati oleh penonton dengan latar belakang apapun. Dari pertunjukan macam inilah kita dapat melihat bahwa daya seni bekerja menyatukan perbedaan dengan pengalaman dan rasa yang sama.[]