Rabu, 26 September 2018 | teraSeni.com~
Parade Teater Yogayakarta (PTY) 2018 baru saja usai. Sebuah Platform tontonan anyar bagi kelompok dan publik teater Jogja yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) 4-5 Sepetember 2018, di Concert Hall TBY. Publik dan kelompok teater Jogja mungkin lebih akrab dengan Festival Teater Jogja (FTJ) dimana ditahun-tahun sebelumnya kegiatan teater selalu bergulir dalam platform tersebut dan melibatkan pula berbagai kelompok dengan format dan cara yang berbeda. Namun ditahun ini FTJ nampaknya tidak terdengar lagi. Justru yang terdengar adalah Festival Teater Antar Kabupaten dan Kota yang dilaksanakan di Stage Jurusan Institut Seni Indonesia di bulan Juni 2018 lalu, dengan harapan tumbuhnya kreasi seniman dalam penggalian ekpresi dan potensi kedaerahan.
PTY hadir menawarkan sebuah platform baru berbentuk parade (baca: perayaan) teater dengan mengusung tema mengenai rujukan sejarah , fenomena dan dinamika perkembangan pertunjukan teater hari ini ternyata telah multi disiplin. PTY menawarkan istilah postdramatic dengan mengandaikan teater adalah “teks terbuka”, maka tidak mengungkung dirinya pada dominasi tekstual tertentu. Teks terbuka dimaknai sebagai perayaan bertemunya antar disiplin, juga bisa tanpa sejarah tertentu (sumber Booklet). PTY mencoba menawarkan warna baru bagi panggung-panggung teater konvensional TBY, harapannya menjadi icon untuk mewadahi perkembangan ragam gagasan pemanggungan kelompok partisipan melalui penyelenggaraan Parade Teater Yogyakarta pada 4-5 September 2018 (Kalanari Theatre Movement, Teater Jubah Macan, Dewan Teater Jogja, Mantradisi).
![]() |
Seorang perempuan serupa aktor berada di tengah-tengah penonton Foto: Dok. Taman Budaya Yogyakarta |
Kalanari Theatre Movement dan Ruang Singgah Sebagai Teks
Di hari selalasa 4 Sepetember 2018 Kalanari menawarkan pertunjukan dengan judul (Un) Fitting : Sebuah Percobaan Menyandang Sejarah Teater yang Mendekam dalam Gudang dan Lemari. Tajuk yang dibuat dalam (UN) Fitting amat provokatif dan cukup untuk kita mengernyitkan dahi sejenak. Nampak tajuk yang dibuat menyandingkan sejarah teater dengan gudang, dan lemari, sebagai operasi bahasa sekilas mengingatkan pada puisi-puisi yang sering ditulis Afrizal Malna. Afrizal memang salah satu sastrawan yang juga banyak berkecipung di seni pertunjukan sebagai penulis naskah di teater SAE dan pengamat teater sejak 1980-an, jadi mungkin operasi bahasanya yang banyak mengekplorasi dialog benda-benda akrab pula bagi orang-orang teater .
Pertunjukan ini cukup menarik sebab nampaknya Kalanari sebagaimana pertunjukan sebelumnya mempertimbangkan tawaran segar dengan menggunakan ruang sebagai bagian dari teks pertunjukan. Penonton PTY diarahkan oleh panitia menuju pintu masuk samping, kemudian duduk di tempat duduk konvensional Concert Hall, sebelum akhirnya ada pengumuman bahwa penonton diberi pula keleluasan ruang menonton diatas panggung. Dengan dibagi-bagi kedalam bebeberapa kotak-kota berbataskan tali rafia. Penonton dipersilahkan duduk lesehan atau di atas level di atas panggung concert hall. Adapula beberapa penonton lain yang tetap duduk di kursi duduk penonton kenvensional. Tampaknya sejak awal Kalanari telah menyadari ruang singgah panggung Concert Hall TBY menjadi bagian pula dari merepresentasikan “teks” pertunjukan. Panggung atau ruang mereka susun menjadi bagian dari teks dalam keseluruan dramaturgi pertunjukan.
![]() |
Para penonton menyaksikan pertunjukan di atas panggung Foto: Dok. Taman Budaya Yogyakarta |
Peristiwa teater yang berlangsung menggambarkan pergeseran sejarah dan perkembangan teater dan penyikapannya terhadap politik ruang serta penonton saat ini. Sebuah pergeseran ruang dalam teater yang memberikan bagian pada penonton untuk memilih peranan dan keterlibatannya sendiri dalam pertunjukan tersebut. “Penonton” menjadi bagian di dalam dan di luar peristiwa, sebab penonton yang sejajar dengan pemain diatas panggung, ditonton pula oleh penonton dari kursi duduk penonton panggung konvensional, yang seolah tidak terlibat dalam pertunjukan. Padahal keseluruhan ruang adalah teks, sehingga keseluruhan yang terjadi dalam concert hall begitu pula dengan manusianya adalah bagian keseluruhan teks mengenai wacana sejarah teater yang ingin di tawarkan Kalamari.
Ruang singgah panggung sebagai bagian teks pertunjukan membawa keseluruhan narasi dan konsekwensi pembacaan atas teks lain, bagaimana kemudian kostum, ruang, aktor, penonton, benda-benda, serta peristiwa yang terjadi adalah bagian dari teks teater yang sedang diberlangsungkan secara bersama. Concert Hall sebagai bangunan panggung bersejarah yang menyimpan jejak kolonial, memiliki nilai-nilai historis terhadap perkembangan seni pertunjukan dan konvensi-konvensi seni pertunjukan sebagaiman dulu hingga kini diberlakukan. Concert Hall TBY tak ubahnya sebagai lemari atau gudang yang pernah menampung sekian ratus pertunjukan silih berganti digelar ruang tersebut. Lemari atau gudang pertunjukan bernama Concert hall yang bersisi sejarah teater dulu dan kini berkelindan dengan aktor, penonton, artistik, kostum, setting, musik, sebagi teks-teks hidup yang terus bergerak (UN) Fitting.
Dramaturgi permainan teks dan pertunjukan (UN) Fitting berkelindan melalui aktor yang bermain, memainkan, membebaskan diri atas politik teks tubuh dari berbagai peran, tototonan, dan interaksi budaya yang pernah mereka lewati. Aktor tampaknya dituntut untuk menyesuaikan terhadap apa yang tidak sesuai atau sebaliknya, terhadap teks atas dirinya, kostum, properti, musik, ruang, lampu, penonton, untuk menyusun teks peristiwa lain, menyusun alur dan cerita dalam pemanggungan. Sebuah pertunjukan teater yang disusun dari barang-barang, peristiwa, tema, aktor, alur cerita, sutradara dalam dilaog mengenai keusangan dalang ruang lingkup teater, dipertontonkan, dan ditonjolkan pada publik sebagai bagian dari sejarah teater yang turut terlibat baik langsung maupun tidak.
![]() |
Seorang aktor berakting begitu dekat dengan penonton Foto: Dok. Taman Budaya Yogyakarta |
Sekilas dalam pertujukan cara-cara dan model perlakukan atas keseluruhan yang belaku di atas panggung pertunjukan Klanari nampak muncul sebagaimana teks anonimus yang berjajar secara bersamaan kita dapat melihat jejak SAE, Garasi, Gandrik, Bengkel Mime, Papermoon, Kalanari, bercampur baur dalam sekian reportoarnya. Didalam teks – teks sejarah teater yang berkelindan tersebut terdapat tokoh anak perempuan yang menginginkan dan meminta baju baru pada ibunya, ia mencarinya dan tak kunjung ketemu, hingga tersesat dan diculik oleh makluk aneh. Pada akhirnya anak perempuan tersebut kemudian telah berubah menjadi makluk lain berkepala aquarium dan dipenuhi dengan berbagai teks.
Teater Jubah Macan, Generasi Milenal dan Drama Jeng Menul
Dari beberapa kelompok atau komunitas teater terdapat pula teater SMA yaitu Jubah Macan, satu-satunya kelompok teater pelajar yang di undang dalam parade ini. Meski berbeda dengan pertunjukan Kalanari Theatre Movement yang secara pertunjukan lebih tampak site-spesific dan menghindari aktor untuk berakting diatas panggung. Teater pelajar ini justru sangat percaya diri memainkan lakon “Jeng Menul” karya Putut Buchori sebagaimana drama lakon pemanggungan teater realis secara umum. Pertunjukan sungguh berkebalikan dengan teater kekinian, meski secara “teks” tubuh dan wajah dipanggung anak-anak pelajar SMA tampak lebih kontemporer.
Aktor-aktor yang terlibatpun cukup banyak dengan usia relatif amat muda. Para pemain teater yang tumbuh dari generasi milenial ini adalah generasi yang lahir dari rentan waktu 1980 – awal 2000-an sebagai akhir. Generasi ini sebenaranya sebagaimana mampu menjadi postdramatic atau “teks terbuka”, melihat rentan usia nilai tawar mereka terhadap sejarah teater. Sebuah teks perlintasan antara yang tengah berlalu dan berlangsung. Sebagai potensi generasi ini sebenarnya sedang menawar untuk terlahir tanpa sejarah tertentu. Meski secara bentuk mereka seperti tidak mau tampil kalah bertenaga dan eksis beradu akting dari kelompok pertunjukan sebelumnya.
![]() |
Para aktor yang tampak sangat muda Foto: Dok. Taman Budaya Yogyakartaa |
Para kru panggung yan terlibat membantu menata setting, pemain musik, penonton yang hadir, tampak khas sekali sebagai ruang tenaga dan kreativitas inter-aksi anak muda. Mengenal inter disiplin dalam proses keberlangsungan dan inter-aksi di dalam pergaulan teater SMA. Anak-anak SMA Jubah Macan ini dengan sangat antusias mencoba membaca teater dalam cara dan gayanya, menawar naskah, setting, adegan dan karakter tokoh yang dimainkan dengan caranya sediri.
Teater sebagai potensi keberklangsungan interdisiplin dan inter-aksi ekpresi, bagi para siswa yang terlibat tampak tak lebih seperti kegiatan ekstra lain seperti sepak bola, pramuka, musik, tari, robotik, dsb, adalah sarana ekpresi dan berorganisasi sebagaiman upacara seremonial. Teater dan akting memang seperti bagian dari permainan untuk saling mengenali lawan jenis dan berinteksi lintas kerja dengan beragam karakter orang dan sebagai cara diri untuk bersikap dan menemukan ekpresi serta ciri sebagai individu di dalam kelompok.
Melihat potensi pertunjukan Kalanari Theatre Movement dan Teater Jubah Macan dalam Parade Teater Yogyakarta seperti membaca posisi dan potensi tawar teater atas masa lampau dan masa depan diberlangsunkan secara menaraik di atas panggung bersama publiknya. Jika teater adalah potensi dan posisi tawar bagi publik penontonya, merefleksi apa yang telah terjadi lalu muncul pertanyaan sejauh mana linimasa perjumpaan potensi dan posisi tawar antara yang lampau dan masa depan teater saat ini sedang diberlangsungkan? Sebagai sebuah dialog wacana perlintasan gagasan sejarah teater dan dinamika perkembanganya ini menarik untuk terus digulirkan.
Sedayu, 15 September 2018