Pilih Laman
Selasa, 23 Oktober 2018 | teraSeni.com~
Seorang penari berdiri tegap di atas 35 tumpukan piring dengan tangan terbentang. Ibu jarinya menengadah sebuah piring kecil dengan lilin yang menyala. Ia diam, tak bergerak dengan durasi yang cukup panjang, 48 menit.Ia tersenyum hingga menyematkan wajah geram tanpa alasan secara berulang. Sedangkan di sisi yang lain, seorang penari perempuan melemparkan piring ke seorang laki-laki secara berbalas. Sesekali sang perempuan tidak benar-benar melemparkan piring tersebut, namun tangan mengepal yang ia dapat. Tidak hanya itu, beberapa piring juga tidak berhasil diterima mengakibatkan pecahan piring yang berserak. Alih-alih diam, mereka berdua saling bertatap tajam dan terus melanjutkannya, seolah-olah ada namun tidak ada.  
Karya tari Li Tu Tu: teraseni.com
Seorang penari meletakkan piring dengan lilin menyala di ibu jarinya
Dokumentasi karya tari karya tari Li Tu Tu
Fotografer: Hoshi
Ayu Permata Dance Company menggelar pertunjukan bertajuk Li Tu Tu, singkatan dari Lingkaran Tunggu Tubang. Karya koreografi Ayu Permata Sari ini merupakan hasil penelitiannya terhadap tari Kuadai, salah satu tari tradisi di Lampung yang lumrah dimainkan oleh perempuan. Lantas Ayu mengeksplorasi penelusurannya menjadi sebuah karya koreografi kontemporer yang melibatkan oleh tiga orang penari, yakni: Nur Rachma Dinda, Ghalib Muhammad, dan dirinya.Karya yang digelar pada tanggal 11 hingga 15 Oktober 2018 di ArtspaceHelutrans, Jogja National Museum, Yogyakarta, ini turut mengadakan sesi diskusi setelah pertunjukan berlangsung. Ruang dialog ini menjadi kesempatan Ayu dan tim untuk menyampaikan gagasan, serta menyerap impresi terburai atas penonton yang lazimnya surut seiring mereka keluar dari tempat pertunjukan. 
Dari sesi percakapan, Ayu secara jelas meletakkan fondasi dasar kekaryaannya, yakni tari Kuadai. Namun tidak hanya mengotak-atik tari tersebut secara tekstual, Ayu turut mengurai persoalan lain, yakni soal Tunggu Tubang. Sebuah sebutan untuk anak perempuan pertama yang diberi kepercayaan untuk mengelola ekonomi keluarga. Hal dominasi ini yang lantas Ayu berikan perhatian lebih di dalam karyanya. Dengan bingkai kontemporer, Ayu justru dapat lebih leluasa menyisipkan gerak, mengatur alur, hingga menebalkan makna yang berdasar pada keseimbangan, kepercayaan, dan komunikasi.

Karya tari Li Tu Tu: teraseni.com
Tampak dua penari saling mengepalkan tinju
Dokumentasi karya tari Li Tu Tu
Fotografer: Hoshi

Tentang Konflik yang Memuncak

Di awal pertunjukan, Ayu, Dinda, dan Ghalib menyambut para penonton yang datang. Dengan ramah ia bertegur sapa hingga menyatakan bahwa mereka akan bersiap-siap. Secara bersama-sama, mereka mulai menata piring di tengah arena dengan penonton yang mengelilinginya. Sejumlah 35 piring tertumpuk, lantas Dinda mulai menaikinya dengan berhati-hati. Sebelum mulai, Ayu menanyakan pertanyaan kepadanya, “Aman?”, dan Dinda pun membalasnya dengan senyum, tanda pertunjukan dimulai. Dari awal pertunjukan ini, kiranya Ayu dan tim sudah meletakkan pertunjukannya bukan sebagai satu karya sulapan, melainkan kerja riskan yang membutuhkan persiapan. 
Dinda berdiri mematung dengan posisi tangan terlentang. Kedua ibu jarinya menengadah menahan sebuah piring dengan lilin yang menyala di atas. Ia hanya berdiam laiknya sebuah patung. Namun yang menarik, Dinda tidak hanya diam melainkan ia menyematkan ekspresi wajah yang berganti, gradual. Di sini, Dinda justru mempunyai kekuatan yang paling kuat dalam pertunjukan. Secara lebih lanjut, Dinda tidak hanya menunjukkan keseimbangan namun memberikan imajinasi lebih, laiknya simbol, bahkan menjelma menjadi totem. 
Di sisi yang lain, Ayu dan Ghalib saling melempar piring satu sama lain. Namun Ayu tidak mewujudkan saling melempar piring secara langsung, melainkan dibuat gradual. Di mana diawali dengan seolah-olah saling melempar untuk membuat kuda-kuda, lalu saling melempar piring namun dengan tempo yang lambat; mereka bergerak memutari Dinda; menyisipi dengan gerak berputar di tempat; saling menjatuhkan piring; hingga mereka seolah-olah melempar piring setelah piring-piring tersebut pecah. Gradasi tersebut tidak hanya pada tahap eksplorasi gerak, melainkan pada gekstur dan raut wajah. Di mana pada tahap awal, Ayu justru tidak menatap mata Ghalib, tetapi setelah piring pecah, Ayu menatap tajam mata Ghalib, begitu pun sebaliknya. 

Karya tari Li Tu Tu: teraseni.com
Para penari saling lempar dan tangkap piring
Dokumentasi karya tari Li Tu Tu
Forografer: Hoshi
Dalam hal ini, Ayu seakan mengajak penonton pada dimensi konflik secara sabar dan perlahan. Ia tidak terburu-buru dalam menempatkan gerak. Hal ini kiranya penting di mana para penari lazimnya kerap berburai gerak namun nir makna. Dan dalam karya ini, Ayu dapat menempatkan gerak demi gerak dengan hati-hati. Hanya saja yang perlu Ayu lihat lebih lanjut adalah eksplorasi gerak dengan layer yang bertingkat. Pasalnya di tengah bagian, eksplorasi gerak yang Ayu sematkan justru terlalu tipis untuk terbedakan dari fase sebelumnya. Sebagaimana Ayu menegaskan bahwa terdapat sembilan bagian tegas yang sebenarnya menjadi ruang “bermain-main” maka kiranya perlu dipertimbangkan lebih lanjut. 
Namun catatan gerak ini justru berlaku sebaliknya pada sisipan raut wajah dan kontak mata yang—baik sengaja ataupun sebaliknya—Ayu ciptakan. Di awal Ayu sama sekali tidak menatap Ghalib, namun ketika piring pecah secara perlahan, Ayu mulai berani menatap mata Ghalib, mulai dari biasa saja hingga tampak geram. Hal ini kiranya cukup sesuai dalam mengisi tahapan yang sifatnya memuncak. Hal ini kiranya menyiratkan dominasi patriarkal, terlebih hanya Ghalib yang dapat mengepalkan tangan ketika Ayu tidak benar-benar memberikan piring-piring tersebut. 
Selain itu, agaknya karya ini merupakan presentasi akumulasi pembelajaran yang Ayu dapat. Di bagian tengah pertunjukan Ayu turut menyisipkan interaksi dengan penonton. Di mana Ayu dan Ghalib menyebar dan melakukan saling melempar piring dengan penonton. Hal ini kiranya memberikan satu pengalaman langsung dalam menangkap peristiwa dalam pertunjukan. Pengalaman tersadar—merujuk pada fenomenologi—penonton dalam melakukan interaksi akan membantu penonton dalam terkoneksi pada pertunjukan.

Karya tari Li Tu Tu: teraseni.com
kedua penari saling menatap dengan ekspresi tidak senang
Dokumentasi karya tari Li Tu Tu
Forografer: Hoshi
Setelah interaksi penonton, pertunjukan kembali berlanjut, dengan prosesi saling melempar piring satu sama lain, walau piring-piring tersebut sudah tidak ada. Bagian ini, Ayu mengajak kita memikirkan bahwa kata kunci yang ia sematkan keseimbangan, kepercayaan, dan komunikasi, justru menjadi pisau bermata dua. Di mana dampak dari hal tersebut adalah dominasi yang mengakibatkan konflik runcing antar dominan dan subordinan. Hal ini kiranya tidak hanya terjadi pada konteks tari Kuadai, namun dapat diluaskan kepada pelbagai hal yang dialami kini. Mungkin tengah terjadi pada anda? 
Karya Yang Selalu Berbeda
Impresi di atas adalah tangkapan saya pada hari ketiga pertunjukan Li Tu Tu, yang berjalan dengan mengalir, yakni porsi piring pecah hingga akhir pertunjukan. Hal ini jelas berbeda dengan apa yang Ayu ungkapkan ketika semua piring telah pecah ketika di tengah pertunjukan, di beberapa hari sebelumnya. Ketidak-terkiraan ini kiranya yang menjadi menarik, pasalnya Ayu pun tidak dapat memastikan kapan porsi piring pecah. Dalam hal ini, strategi Ayu dalam menyikapi ketersediaan piring membuatnya harus memutuskan tindakan dengan cepat. Alhasil, karya Ayu tidak selalu menghasilkan karya jadi dengan tingkat sublimasi yang tunggal, namun beragam di tiap harinya. Keriskanan ini dapat memberikan kesempatan keberhasilan ataupun sebaliknya, gagal, terbuka lebar.

Karya tari Li Tu Tu: teraseni.com
Penari tampak sedang mengajak penonton menjadi bagian pertunjukan
Dokumentasi karya tari Li Tu Tu
Fotografer: Hoshi

Kendati demikian, ada satu benang merah yang kiranya ia pegang, yakni Ayu tetap menerapkan sembilan bagian yang menjadi ruang pijak karyanya. Hal yang menarik selanjutnya, bagaimana Ayu ‘bermain-main’ dengan bagian-bagian tersebut ketika piring telah habis. Dalam hal ini, kita patut mempertanyakan seberapa lentur Ayu memosisikan relasi di tiap bagiannya. Pasalnya Ayu menyebutkan bahwa relasi tersebut bertingkat, lantas apa yang dikorbankan dari bagian-bagian tersebut ketika dihapus? 

Bertolak dari itu semua, karya Li Tu Tuperlu diapresiasi baik. Pasalnya,Ayu bekerja dengan bijak, seperti: mulai dari menyoal gagasan dari tari Kuadai; mewujudkannya pada koreografi, di mana Ayu mengembangkan dari dua motif, yakni: yang pertama adalah tangan merentang dan silang piring; hingga memberikan ruang pemaknaan yang terbuka. Karyayang dikerjakan selama setahun lamanya ini kiranya cukup matangdan baik di antara karya Ayu lainnya. Selamat Ayu![]