Pilih Laman
Jumat, 28 Desember 2018 | teraSeni.com~

Seorang laki-laki menggunakan kemban merah meratap dengan wajah nanar ke penonton. Di dalam pelukannya, terdapat rangkaian bunga mawar. Kiranya terdapat satu kontras di mana tubuh sang laki-laki berpakaian kemban merah memeluk rangkaian bunga tersebut. Sementara lima penari lainnya mengibaskan bunga mawar ke punggung mereka masing-masing. Beberapa menit berselang, laki-laki tadi mulai ikut mengibaskan bunga yang ia peluk ke arah punggungnya. 

Nosheheorit: Teraseni.Com
Penari memeluk bunga sambil menatap ke arah penonton
Foto: Arsip Otniel Tasman
Potongan pertunjukan di atas merupakan secuil peristiwa yang terjadi pada karya bertajuk Nosheheorit dari koreografer, Otniel Tasman. Karya yang menyoal ihwal maskulinitas dan femininitas pada tubuh ini dipentaskan pada gelaran Indonesia Dance Festival (7/11) di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Karya Otniel ini terinspirasi dari seorang lengger laki-laki dari Banyumas, Dariah. Di dalam karya berdurasi 50 menit ini, Otniel mendialogkan dua gender di dalam satu tubuh hingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Di dalam karya ini, Otniel selaku koreografer bekerja sama dengan Bagus TWU (komposer), Khoerul Munna dan Yenni Arama (pemusik), Iskandar Kamaloedin (lighting designer), Sekar Putri Handayani (produser), Reizki Habibullah (project manager), Dany Wulansari (asistant produksi), dan para penari, yakni: Sutrianingsih, Yoga Ardanu, Kurniadi Ilham, Ahmad Saroji, Damasus CV Waskito. Karya yang sempat dipentaskan di Belgia ini kiranya mengajak kita untuk berpikir ulang soal ihwal gender yang kerap kita abaikan, atau sengaja tidak dibicarakan.
 

Tubuh Sebagai Ruang Dialog 
Dengan cahaya samar-samar, seorang perempuan berdiri di tengah panggung. Membentuk kuda-kuda dengan posisi jari laiknya kipas yang bergerak cepat. Dua laki-laki lainnya hanya duduk termangu. Mereka terbangun, menunjukkan gerak gemulai laiknya Lengger tetapi dengan gerak yang patah-patah. 
Sementara terdapat seorang penari berdiri di sisi depan bagian kiri panggung. Adalah Ilham menunjukkan gerak-gerak pencak tetapi dalam busana yang asing, laiknya gaun berwarna hitam dengan sepatu berhak. Di satu sisi ia menampilkan kegagahan, tetapi di sisi lain busana membuatnya kontraproduktif. Gerak demi gerak ia tunjukkan, kuda-kuda demi kuda-kuda ia peragakan hingga suara berbisik “noshe, no he, orit” terdengar lantang. 
Nosheheorit: Teraseni.Com
Penari dengan kuda-kuda serupa pencak silat
Foto: Arsip Otniel Tasman
Dengan suara berbisik tersebut, lantas ia terjatuh di tempat tak berdaya. Sekembalinya ia bangkit, ia lantas berjalan dan bergerak lebih gemulai ke tengah panggung. Lantas ia menunjukkan kontras gerak, dengan bergeal-geol hingga menunjukkan kosa gerak Lengger. Dalam hal ini, kita dapat melihat perubahan kontras tubuh dari basis tubuh pencak ke Lengger. Ada dua yang terlucuti, pertama, pergantian gerak yang signifikan, kedua, konstruksi tubuh dan gender. 
Bertolak dari adegan pertama, hal ini kiranya terjalin kemudahan dalam menangkap adanya dua kecenderungan gender pada satu tubuh. Hal ini kiranya menarik, namun Otniel cukup diuntungkan melihat Ilham berbasis gerak pencak, sehingga gerak maskulin dapat tergambar dengan jelas. Dengan sangat mudah penonton menangkap signifikansi antara maskulin dan feminin yang terejawantahkandengan detail dari basis gerak yang ditunjukkan. Namun, kiranya menarik mengetahui siasat Otniel jika gerak maskulin tidak ditunjukkan dengan gerak pencak. Lebih lanjut, seberapa kuatkan maskulinitas pada tubuh para Lengger Lanang hingga diwujudkan dengan kontras yang tegas? 
Selanjutnya, para penari turut mewujudkan kontak tubuh hingga motif gerak Lengger. Namun yang cukup menarik, Otniel tidak langsung menerapkannya secara eksplisit, melainkan mewujudkannya perlahan, yakni dengan gerak patah-patah—laiknya ada keraguan tertentu yang terjalin. Dalam hal ini, saya melihat bahwa Otniel tidak hanya menggunakan penari sebagai peraga gerak-gerak, tetapi medium interpretasi atas dialog gender. Hal ini kiranya yang membuat karya semakin kaya. 
Nosheheorit: Teraseni.Com
Para penari tampak sedang menjalin kotak tubuh satu sama lain
Foto: Arsip Otniel Tasman
Selain itu, hal yang cukup menarik adalah Otniel membuat dramaturginya bertingkat. di mana ia memulai dengan tubuh personal sebagai pembeda gender. Secara lebih lanjut, setiap tubuh bergerak maskulin, feminin, dan keduanya, baik secara terpisah, patah-patah, hingga berkelindan. Alih-alih hanya menunjukkannya pada tubuh terpisah, Otniel juga menjalin ketersatuan gender ketika setiap penari saling menyentuh dan menyangga satu sama lain. Tidak hanya berpelukan, Otniel turut menyematkan visual pose yang menarik di setiap penari yang menyangga satu sama lain. Pada adegan ini, laiknya semua konstruksi menjadi lenyap dan berkelindan. 
Setelah itu, Otniel muncul dengan kemban berwarna merah. Ia menari lengger sambil menyanyikan beberapa patah frase yang kerap digunakan oleh Lengger. Pasca Otniel masuk, kiranya penari-penari lain dihadirkan bergantian, baik gerak patah-patah ataupun lengger. Interaksi gerak yang muncul pun inovatif dengan eksplorasi gerak dari basis tubuh lengger yang cukup variatif.

Eksplorasi gerak itu pun menyuarakan maksud yang berbeda-beda, mulai dari keragu-raguan, keterasingan, hingga keutuhan. 

Nosheheorit: Teraseni.Com
Seorang penari dengan kostum kemben merah
Foto: Arsip Otniel Tasman
Dalam diam dan tubuh kelima penari yang membeku, Otniel berjalan ke dalam panggung sambil memeluk bunga mawar. Ia memberikannya satu per satu ke kelima penari yang ada. Bunga tersebut diletakkan di atas kepala mereka masing-masing, dan perlahan para penari mulai merespons bunga-bunga tersebut. Puncak dari adegan itu adalah ketika kelima penari menyabet-nyabetkan bunga tersebut ke punggung mereka masing-masing, sedangkan Otniel menatap nanar sembari memeluk bunga mawar tersebut. Setelah para penari, lantas Otniel lah yang menyabetkan bunga-bunga tersebut ke punggungnya hingga lampu berangsur padam. Adegan menyentuh tersebut menutup pertunjukan.
Fase Liminalitas dan Cara Ungkap 
Bertolak dari karya tersebut, kita dapat melihat tawaran biografi tubuh dari seorang Lengger Lanang, bernama Dariah. Diibaratkan sebagai sebuah perjalanan, Dariah mengalami fase yang tidak mudah. Pertentangan demi pertentangan terjalin, ketidak-terimaan berbuntut persetujuan diri terbentuk, hingga kehadiran inang membuat seseorang ‘menjadi’ Lengger Lanang terwujud. Dalam hal ini, Otniel mengartikulasikan fase liminalitas (baca: ambang) dari tubuh seorang Lengger Lanang. Secara lebih lanjut, dapat kita lihat adanya fase ‘menjadi’ tubuh Lengger yang melibatkan dialog dua gender yang berlainan. Di mana diawali dengan tubuh laki-laki, persilangan dengan perempuan, dan menjadi Lengger Lanang. 
Hal lain yang cukup menarik, saya melihat karya ini diungkap Otniel dengan cara yang ‘puitis’ dan penuh emosi. Hal ini mungkin dapat ditafsir akan relasi Otniel yang cukup dekat dengan Dariah, sehingga bahasa-bahasa yang muncul begitu dekat dan mendalam. Kiranya Otniel tidak perlu takut soal kedekatan yang terjalin dengan Dariah, pasalnya kreativitas dan inspirasi memang datang dari hal tersebut. Namun Otniel perlu berhati-hati dengan ihwal kedekatan ketika mengartikulasikan kedirian Dariah. Pasalnya subjektivitas kerap menyederhanakan atau memburamkan beberapa momen yang seharusnya penting menjadi tidak, dan sebaliknya. Dalam hal ini kiranya kesadaran Otniel sebagai insider ataupun outsider di dalam Lengger perlu dicoba. Alhasil karya Otniel akan menjembatani segala persoalan, terlebih untuk mereka yang akrab ataupun asing terhadap Lengger.[]