Pilih Laman

Minggu, 7 April 2019 | teraSeni.com~

Ketika musik-musik etnik yang sudah familier di telinga masyarakat awam terus direproduksi; ketika banyak kelompok musik etnik yang lebih memilih jalan ‘aman’ dengan mengaransemen ulang lagu-lagu yang telah dikenal, grup musik etnik kawakan, Kuaetnika justru mengusung aksi berbeda. Mereka menggarap lagu-lagu daerah yang—bagi mereka—belum tersentuh dan dikenal oleh publik.

Djaduk Ferianto dan Kuaetnika mengaransemen sekaligus mengembangkan lagu-lagu daerah terpilih dengan satu tujuan, yakni menyelaraskan semangat keindonesiaan. Garapan dengan maksud ‘mulia’ tersebut lantas dikemas menjadi sebuah album yang bertajuk Sesaji Nagari. Alih-alih hanya melalui kepingan cakram padat, Kuaetnika turut mendesiminasikannya melalui konser musik yang diselenggarakan di dua tempat, yaitu: Taman Ismail Marzuki, Jakarta (23/2) dan Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta (10/3).

kuaetnika: teraseni.com
Tampak seseorang diatas panggung menyapa penonton
Foto: Erwin Octavianto

Di dua tempat tersebut, Djaduk mengajak penonton untuk kembali meresapi apa yang terjadi dengan Indonesia beberapa waktu belakangan. Secara gamblang, Djaduk dan Kuaetnika ingin mengekspresikan kegelisahannya tentang negeri yang sedih. Atas dasar refleksi tersebut, Kuaetnika menyulam kembali rasa persatuan dengan menghadirkan keberagaman melalui 10 lagu—baik lagu daerah ataupun lagu karangan sendiri. Lagu-lagu tersebut diibaratkan menjadi sesaji guna memohon kedamaian, persatuan, dan keutuhan kepada Tuhan, sekaligus umatnya.

Dalam hal ini, pilihan menarasikan persatuan melalui musik tentu menarik. Pasalnya di tengah keruhnya konstelasi politik dan gesekan paham menjelang Pemilu, pelbagai ajakan dan seruan yang eksplisit tentu terasa politis. Bahkan di dalam bukletnya, Kuaetnika turut menuliskan “Ini Bukan Pertunjukan Politik”. Namun apakah Kuaetnika—sebagai kelompok musik—setia menarasikan gagasannya dan berhasil mengartikulasikannya melalui musik, ataukah sebaliknya, terjerembap pada lubang politik?

Mendengar Wacana Menelisik Musik

Sebagai kelompok musik etnik yang dibuat sejak tahun 1996, Kuaetnika memang kerap berkreasi dan melakukan inovasi pada musik-musik daerah. Kuaetnika kerap menciptakan lagu baru dengan sumber, baik aural, ataupun visual dari sosio kultural beberapa lokus hasil eksplorasi mereka. Tidak hanya itu, Kuaetnika kerap melakukan penyilangan genre, eksperimen melodi, tempo, beat, bahkan harmoni.

 kuetnika: teraseni.com
Tampak penyanyi seolah terhanyut dalam lagu yang dinyanikannya
Foto: Erwin Octavianto

Pun konsistensi Kuaetnika tidak bisa diragukan. Mereka jarang absen dalam memproduksi musik, semisal: Nang Ning Nong Orkes Sumpek (1996); Ritus Swara (2000); Unen-Unen (2001); Many Skyns One Rhythm (2002); Pata Java (2003); Vertigong (2008); Nusa Swara (2010); dan Gending Djaduk (2014). Bahkan mereka juga tidak jarang pentas di festival musik, baik lokal ataupun internasional. Alhasil telah terpatri akan kualitas Kuaetnika sebagai kelompok musik yang bernas.

Konser di Yogyakarta (10/3), Kuaetnika mempertunjukkan kesepuluh lagu pada album yang dirilis akhir tahun lalu, dengan urutan sebagai berikut: “Kadal Nongak”, “Doni Dole”, “Batanghari”, “Anak Khatulistiwa”, “Lalan Belek”, “Sesaji Nagari”, “Ulan Andung-Andung”, “Made Cenik”, “Sigule Pong”, dan “Air kehidupan”. Alih-alih dipentaskan secara kaku, konser musik justru berlangsung cair dan akrab. Semisal di awal pertunjukan yang dikemas laiknya mereka tengah berlatih—lebih lanjut mereka melakukan improvisasi dengan prinsip interlocking—, yang kemudian “diganggu” oleh kehadiran Alit dan Gundi, selaku master of ceremony (seterusnya ditulis dengan MC).

Percakapan antara Djaduk dan MC juga melibatkan tema umum dengan gaya yang jenaka. Beberapa tema yang diangkat seperti tingkah laku generasi milenial yang kurang paham tata krama, kecenderungan praktis, penggunaan gadget, dan lain sebagainya. Di dalam hal ini, mereka agaknya menyadari akan posisi anak muda sebagai agent of change ke depan. Pasalnya pelbagai tingkah laku ‘nyeleneh’ anak muda selalu berujung petuah dari Djaduk. Lebih lanjut, petuah-petuah tersebut mengarah pada satu isu, yakni kesatuan Indonesia, atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di dalam konser tersebut, Djaduk dan Kuaetnika ‘menyulap’ sejumlah tujuh lagu daerah—yang bagi mereka kurang mendapat perhatian lebih—dan menciptakan tiga lagu dengan bernuansa nusantara. Khususnya pada tujuh lagu daerah yang berasal dari barat hingga timur Indonesia tersebut, unsur etnik dari setiap lokus tetap dijaga, tidak dicerabut sesukanya.

Terjaganya etnik diejawantahkan dengan penggunaan instrumen asli; penggunaan bahasa dan lirik yang sama; aransemen yang pada beberapa bagian di dalam lagu tidak jauh berbeda. Semisal pada lagu “Kadal Nongak” asal Nusa Tenggara Barat atau lagu “Sigule Pong” asal Sumatera Utara, yang masih mengedepankan instrumentasi di beberapa bagian lagu. Namun cukup disayangkan, pada beberapa bagian musik etnik hanya tampak secara visual. Pasalnya ada beberapa bagian di mana musik etnik yang semestinya ‘tampil’ justru tidak terdengar jelas atau ‘kalah’ dengan suara instrumen lainnya.

kuaetnika: teraseni.com
Siluet dengan latar cahaya biru
Foto: Erwin Octavianto

Pun Kuaetnika juga melakukan inovasi dan sentuhan musik yang berbeda-beda. Pada beberapa lagu tersebut, Djaduk memasukkan unsur genre lain, semisal pada lagu “Kadal Nongak” yang dibuat lebih “pop” pada bagian chorus, atau “Sigule Pong” yang disilangkan dengan genre jazz pada bagian chorus. Sedangkan pada lagu lainnya, Djaduk dan Kuaetnika “bermain-main” dengan beat dan tempo lagu. Semisal beat yang lebih cepat pada lagu asal Poso, “Doni Dole”. Inovasi tersebut tentu memberikan impresi yang berbeda dari lagu aslinya, tetapi apakah perubahan pada beat atau silang genre mempertimbangkan konteks atau impresi dari versi aslinya? Jika demikian, apakah impresi selalu bertuan pada kecenderungan selera konsensus?

Bertolak dari itu semua, Kuaetnika konsisten dalam menciptakan lagu apik serta meracik musik nusantara menjadi sajian pertunjukan yang menarik. Terlebih pada singkupasi, harmoni, hingga perpaduan bunyi dari alat musik yang beraneka. Sesaji Nagari tentu membuktikan kualitas baik dari Kuaetnika sudah menjadi keniscayaan, tetapi laiknya sesaji, mengharap kejutan memukau atau kebaruan tentu perlu dipanjatkan pada kelompok musik dengan potensi yang berlimpah ini.

Wacana Persatuan di tengah Badai Politik 

Tentu menggalang pesan persatuan di tengah hiruk pikuk politik Indonesia belakangan memang penting, tetapi kesan politis tidak dapat terhindarkan. Kenyataannya, perpecahan karena kontestasi pemilu memang menggerogoti masyarakat Indonesia. Keberagaman pun menjadi cita-cita yang kini jauh panggang dari api.

kuaetnika: teraseni.com
Terlihat komunikasi Djaduk dengan MC di atas panggung
Foto: Erwin Octavianto

Dari keadaan tersebut, konser musik Sesaji Nagari dipertunjukkan sebagai doa guna menyadarkan kita akan beberapa hal, pertama, narasi keberagaman; kedua, optimisme akan potensi kebudayaan; ketiga, kesadaran untuk mencintai budaya, terlebih masih banyaknya budaya yang belum terjamah dan dieksplorasi secara luas. Maka kehadiran seniman laiknya Djaduk Ferianto dan Kuaetnika memang diperlukan. Pasalnya jika dalam porsi yang sesuai, melalui senilah kewarasan berbangsa dan bernegara justru dapat distimulasi.

Namun yang perlu menjadi catatan, lagu-lagu pada konser Sesaji Nagari yang sudah menyimpan pesan keberagaman justru terlalu padat dalam pesan. Singkat kata, konser tersebut berlimpah pesan dan muatan oleh karena sesi percakapan yang dirasa terlalu panjang. Hal ini tentu mengundang pertanyaan, mengapa Djaduk memerlukan durasi panjang untuk sesi percakapan di setiap lagu? Tentu hal tersebut sah-sah saja, terlebih percakapan dapat memberikan kesan interaktif dan penekanan, tetapi efek percakapan membuat penekanan dirasa berlebih.

Hal tersebut membuat saya berpikir ulang, tetapi bukan tentang kurasi dibuatnya album, melainkan tujuan konser tersebut dihelat. Pasalnya album Sesaji Nagari sudah memiliki muatan yang baik, terlebih mengangkat lagu-lagu daerah tertentu untuk lebih dikenal luas, bukan ‘belum tersentuh’. Dalam hal ini, beberapa lagu sudah dikenal oleh publik di lokasi dan sekitarnya. Semisal “Sigule Pong” yang kerap menjadi lagu perayaan siklus hidup ataupun dinyanyikan Pesparawi (Pesta Paduan Suara Gerejawi) untuk publik Sumatera Utara dan sekitar, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, album Sesaji Nagari mempunyai misi menunjukkan keberagaman sebagai potensi kekayaan dari bangsa Indonesia. Hal ini kiranya dapat menjadi contoh baik bagi kelompok musik etnik lain untuk lebih mempopulerkan atau mengaransemen lagu-lagu daerah lainnya. Upaya tersebut perlu dimulai kembali guna menguatkan ulang kesadaran masyarakat akan berbudaya.

Lantas, apakah keliru jika sebuah konser mempunyai tujuan dan kepentingan politik? Tentu hal tersebut juga bukan kekeliruan, pun dari konser Sesaji Nagari juga lah saya melihat bahwa musik tradisi mempunyai suara untuk bersumbangsih pada konstelasi perpolitikan. Namun alangkah eloknya jika pesan musik dan muatan politik dalam satu level kepentingan yang tidak jauh berbeda, sehingga sebuah pertunjukan dengan maksud politik apapun dapat terjalin tanpa mengingkari atau mengorbankan kekuatan dari pertunjukan itu sendiri.[]