Minggu, 26 Mei 2019 | teraSeni.com~
Benar saja, malam itu di Gerobak Kopi membuat semacam keramaian meskipun tanpa izin keramaian. Beberapa orang tampak sibuk berlalu lalang, mengangkat barang-barang serupa speaker, mengobel-ngobel kabel, mengecek-ngecek suara. Tak berapa lama di sudut kiri sebelum pintu masuk kedai, seperangkat soundsystem minimalis sudah siap tegak terpasang dengan beberapa buah gitar akustik yang siap untuk dipetik. Rupanya, seisi kedai malam itu tidak hanya hadir untuk menyeduh kopi, mungkin sebagiannya juga ingin larut dalam bunyi.
![]() |
MC menyapa pengunjung di Gerobak Kopi Foto: Dokumentasi Pantia |
Setelah tampak siap, seketika itu, petugas MC menyapa hadirin, mengucap terimakasih telah menyengaja datang ke Gerobak Kopi dalam rangka peluncuran program terbaru. Selamat datang di DoItYoursong, program terbaru Gerobak Kopi, program yang diinsafkan untuk masyarakat musik terutama di kota Payakumbuh. DoItYoursong, sebagaimana dari penamaannya merupakan sebuah terminologi yang diambil dari semangat kemandirian yang kerap dipakai oleh teman-teman PUNK, yaitu DIY. Akan tetapi, rekan-rekan di Gerobak Kopi menambahkan semacam penekanan “song” yang memberikan konteks kegiatan ini, yaitu musik.
Jelas saja, dalam hal ini, DoItYoursong dimaknai sebagai sebuah ajakan untuk mereka yang diam-diam tak berhenti membuat karya musik, namun tidak ada ruang untuk memperdengarkan kepada para pendengar yang lebih luas.DoItYoursong tidak hanya memperdengarkan karya musik, pun juga mengajak membicarakan karya-karya yang mereka ciptakan serta bagaimana mereka berproses.
“Lagu-Lagu yang Tak Laku”, kiranya begitulah tema yang diwacanakan malam itu, dengan menghadirkan dua kelompok musik. Diantaranya, Selatan Payakumbuh dari Lima Puluh Kota, dan Sibirana dari kota Padang.
![]() |
Selatan Payakumbuh membawakan beberapa reportoar Foto: Dokumentasi Panitia |
Selatan Payakumbuh, merupakan sebah kelompok musik yang tumbuh di nagari Tanjung Haro Sikabu-Kabu Padang Panjang, sebuah nagari yang berada persis di arah selatan kota Payakumbuh. Mereka memulai proses pertama kali dengan bunyi-bunyi puisi, kerap mengeksplorasi bunyi-bunyi yang ada dalam puisi, kemudian menyanyikannya dalam baris-baaris lagu. Petikan-petikan idiom Minangkabau dipadupadankan dengan vst-vst, plugin, serta efek-efek ambien diolah menjadi puisi tersendiri.
Sedangkan Sibirana, sebuah kelompok yang mengawali kreativitas mereka dengan industri kreatif Sibirankajoe, yaitu sebuah usaha yang mengubah kayu-kayu sisa menjadi kerajinan yang memiliki nilai jual. Kemudian, mereka mencoba mengembangkan diri dengan membuat program-program kesenian, seperti fotografi, videografi, teater, serta musik. Maka, Sibirana lahir dari program musik.
Reportoar Sibirana x Selatan Payakumbuh
Sibirana mengawali dengan sebuah lagu yang berjudul Bunga Kopi, lagu yang dikatakan oleh penyanyinya diambil dari puisi Pinto Anugrah, seorang penyair juga sekaligus sastrawan Sumatera Barat. Lagu yang dibuat dengan sukat ganjil ini terdengar saling berkejaran dan menjangkau satu sama lain. Terdengar progresi chord bas dibuat terus berjalan, sementara ritme gitar seakan menahannya dalam satu akord saja. Lalu, bait-bait puisi dinyanyikan, seakan memagut kabut yang berloncatan dalam bercangkir-cangkir kopi.
![]() |
Sibirana membawakan beberapa reportoar Foto: Dokumentasi Panitia |
Lain pula Selatan Payakumbuh, membuka pertunjukannya dengan sebuah lagu yang berjudul Beri Aku Malam. Lagu yang digubah juga dari puisi penyair Iyut Fitra. Tiga orang personilnya menyanyikan refrain di bagian awal dengan tiga suara pula, terdengar seperti organ di sepertiga malam yang memecah kesunyian. Setelahnya, terdengar petikan gitar dengan effect delay, nada-nadanya seolah melayang-layang mengisi ruang yang entah menuju kemana. Bagian demi bagian lagu dinyanyikan. Tak terasa, di penghujung lagu, tiga personilnya kembali menyanyikan berulang-ulang bagian refrain tiga suara, “beri aku malam, beri aku malam, beri aku malam, seliang kelam menuju Tuhan.”
Lagu kedua, Kusir Bendi, dibuka dengan petikan gitar 1 dengan nada-nada pentatonis Minangkabau, tak lupa dengan effect delay, suasana yang dibangunnya seperti sedang berada di pedalaman Minangkabau. Seakan-akan melalui nada-nada tersebut, pendengar sedang diberikan sebuah konteks. Setelahnya, terdengar bunyi gitar fade in, makin lama makin mengeras, petikan bunyinya serupa kaki kuda sedang berlari. Lalu disusul dengan pola yang sama pada bas. Sebagaimana Iyut Fitra dalam puisinya Kusir Bendi tersebut, tampaknya Selatan Payakumbuh, melalui bunyinya, mereka juga sedang hendak memvisualkan sunyinya kehidupan Kusir Bendi hari ini di tengah gegasnya teknologi transportasi, serta bagaimana ketertinggalan mereka dipesatnya teknologi informasi.
Membangun dari tepi: sebuah tawaran untuk beriya-iya
Selain pertunjukan beberapa reportoar Selatan Payakumbuh dan Sibirana, sesi diskusi juga berjalan tak kalah menarik. Diantaranya, bagaimana menyoal publikasi band-band atau kelompok-kelompok musik yang bergerak secara indiependen, supaya lagu-lagu mereka tak lagi menjadi konsumsi pribadi. Bagaimana menciptakan ruang-ruang alternatif, agar bisa membangun atmosfer musik itu sendiri. Bagaimana kemudian berbagi pengalaman proses kreatif menciptakan musik, yang barangkali bagi sebagian kelompok mempunyai cara yang berbeda-beda.
Pada intinya, diskusi pada malam itu mengerucut pada soal membangun ekosistim musik yang berkesninambungan. Ini pula yang kemudian dicoba di dorong oleh Gerobak Kopi melalui Doityoursong. Bagaimana kemudian dari kota kecil Payakumbuh ini bisa tercipta semacam kantung-kantung kreatif untuk Sumbar, skena-skena musik yang akan memperkaya ragam musik nasional. Sebuah cita-cita yang tentu membutuhkan proses panjang, semangat, kerja keras, serta konsistensi dari para pegiat itu sendiri. Atau barangkali optimistik ini hanya euforia yang utopik? Rasa-rasanya tidak.
![]() |
Sesi diskusi setelah pertunjukan Foto: Dokumentasi Panitia |
Kenapa tidak, anak muda kota Payakumbuh punya sejarah tersendiri tentang tumbuh kembangnya musik di kota mendayu ini. Berbicara musik popular salah satunya, barangkali mereka masih mengingat betul, satu dekade yang lalu, Blitz Band, sebuah band yang mengasah kemampuan dari panggung lomba satu ke panggung lomba yang lain. Kemampuan itu yang kemudian dituangkan ke dalam semangat yang begitu besar untuk sebuah cita-cita. Maka, mulailah membuat lagu, beberapa tahun berikutnya mereka menjelma band yang dirasa pantas untuk membuka konser-konser akbar. Akibatnya, hampir setiap tongkrongan anak seusia sekolah menengah di kota Payakumbuh kala itu, lagu Blitz Band ada diputaran pertama dalam playlist mereka.
Dalam masa yang sama, juga muncul Rubberclock, band rocknroll Payakumbuh yang secara diam-diam menjadi semacam trendsetter bagi anak-anak rebel penggila suara-suara crunch yang nakal. Lagu-lagu hits dari sebuah album mini yang Rubberclock hasilkan, tentu membuat penonton tak berhenti berputar-putar di gigs-gigs Sumbar. Tidak hanya itu, Rubberclock juga dengan mudahnya melewati audisi LA Lights Indiefest 2008 lalu.
Tak hanya di Payakumbuh, di kota Padangpanjang Serambi Mekah, Cheerie Plus, Ziva Band juga turut mencuri perhatian masyarakat musik Sumbar kala itu. Selain memang mereka punya materi musik yang kuat serta garapan-garapan yang cukup berbeda dari banyak band di Sumbar.
Namun, pada tahun-tahun itu, Jakarta lebih menggoda bagi band-band Sumbar ini. Mereka terkesan mengekor pada paradigma lama, bahwa Jakarta adalah segalanya bagi musik popular Indonesia, bahwa “pengakuan” seolah-olah hanya ada di Jakarta. Oleh karenanya, satu persatu mereka hijrah ke kota impian tersebut. Kiranya, tak semudah membuat musik itu sendiri, irama Jakarta kiranya teramat kompleks untuk kemudian bisa di aransemen, terutama bagi band-band daerah. Tak terkecuali bagi band-band dari Sumbar ini.
![]() |
Foto bersama pegiat musik kota Payakumbuh Foto: Dokumentasi Panitia |
Lalu, kita bisa menebak hasil akhirnya. Tak banyak dari band-band tersebut yang bertahan di kota maha citra itu. Satu persatu mulai meninggalkan ritmanya, pindah ke kota lain dengan mencari kemungkinan lain. Atau, pulang kembali menata diri seraya belajar dari pengalaman dengan memunculkan sebuah kesadaran baru. Bahwa, untuk sebuah “industri” musik, semestinya juga harus serta merta membangun atmosfirnya. Agar mata rantai musik itu sendiri berjalan, dan dengan sendirinya setiap kepentingan stakeholder ikut mencebur di dalamnya.
Barangkali, hari ini, tak ada salahnya kita untuk mengintip sedikit di etalase keriuhan musik Bali yang mau tak mau harus diapresiasi. Bagaimana Bali, dengan kota-kotanya tersebar, mereka adalah sebuah pulau yang jumlah penduduknya pun serupa Sumbar, lebih kurang seupil jika dibandingkan dengan Jakarta. Namun, dalam hal kreativitas bermusik mereka punya semacam manuver yang jika tidak tepat digunakan istilah gigantisme, atau heroisme, tetapi kenyataannya mereka merayakan semangat desentralisasi musikal yang siap melawan untuk bergantung pada Jakarta.
Keriuhan yang dimulai dari industri musik lokal, katakanlah pop Bali atau pop berbahasa Bali, kemudian bergeser keindustri yang lebih luas berbagai macam genre musik. Ambien-ambien musik Bali pun tak lagi hanya didengar oleh telinga-telinga lokal, melainkan sudah melampaui nasional dengan menembak langsung jalur Balkan Eropa, dan Amerika. Jelas saja, hingar bingar musik Bali ini tentu sudah melewati proses yang panjang, semangat yang sama, kerja keras, serta konsistensi dari para pegiat-pegiat musik itu sendiri.
Sudah barang tentu, skena-skena musik yang lahir dibanyak tempat, dengan beragam genre dan attitude masing-masing adalah semacam modal kultural yang dimiliki Bali. Namun, modal kultural saja tentu tidak cukup, modal sosial juga tak kalah penting. Bagaimana kemudian mereka menciptakan ruang-ruang organologis, tempat beresonansinya beragam kelompok genre musik. Di setiap sudut, ada saja panggung untuk menggelar karya-karya sebagai wujud ekspresi musikal. Di cafe-cafe, bar-bar, tak lagi ruang konsumtif belaka, melainkan menjelma sebagai panggung-panggung alternatif untuk band-and atau kelompok-kelompok musik yang ingin mempresentasikan estetikanya. Pada bulan-bulan tertentu terdengar pula festival-festival yang mendorong semaraknya skena musik masing-masing.
Agaknya, budaya ini pun akhirnya tumbuh sebagai pemenuhan kebutuhan hasrat musikal setiap orang, musik telah menjadi semacam muara dari suara-suara beragam kepentingan. Baik yang praktis, maupun yang politis, baik yang ideologis, maupun yang ekonomis. Maka, musik tak lagi sekedar bunyi yang dilantunkan, melainkan sebuah alat untuk mempertemukan ragam kehidupan.
Payakumbuh, kota yang mendayu biru ini, sekiranya tak kurang dengan kultur musik. Mulai dari tradisi, pop daerah, hingga kontemporer terus bergeliat. Hanya saja soal intensitas, konsistensi, menjaga semangat, serta kemauan untuk beriya-iya, bagaimana kemudian setiap pegiatnya bersepakat membangun sebuah ekosistim musik yang saling bertaut satu sama lain, tidak hanya sesama musisi, juga penikmat, pencatat, pemoto, dan siapa saja yang tergerak untuk majunya musik itu sendiri. Percayalah, meskipun dimulai dari gerobak, yang kita butuhkan hanyalah terus mengayuh, mendorong, serta memacu, menyambung kembali mata rantai yang mungkin terputus beberapa tahun belakang. Bahwa kemudian, tidak ada yang tidak bisa, kecuali tidak mau.