Pilih Laman

Minggu, 16 Juni 2016 | teraSeni ~

Tulisan berikut  ditulis oleh almarhum Wisran Hadi, Budayawan Sumatera Barat, sebagai Pengantar untuk Pameran Tunggal Pelukis Kamal Guci. Mengingat sudut pandangnya yang menarik, serta gaya penulisannya yang inspiratif, Redaksi teraSeni menuliskannya kembali untuk pembaca. Semoga bermanfaat.

Lukisan Kamal Guci - teraSeni
Lukisan Wakidi Berjudul Kampung Terapung
Apapun kata orang tentang perkembangan seni rupa khususnya seni lukis di Sumatera Barat, setuju atau tidak, sosok Kamal Guci tidak dapat dilepaskan dari perkembangan itu. Kamal Guci merupakan satu mata rantai atau satu bagian penting dari gerak lajunya sebuah perkembangan kebudayaan. Dalam catatan kronikal budaya di Sumatera Barat namanya akan ditemukan dalam deretan nama-nama perupa atau pelukis Sumatera Barat yang handal, yang lahir, belajar dan menetap di negerinya sendiri; Minangkabau.

Jika sesaat dicoba kembali menoleh ke belakang perkembangan senirupa di Sumatera Barat, maka pelukis Wakidi (kelahiran Semarang dan kemudian memilih Minangkabau sebagai negerinya sendiri, menetap di Bukittinggi) adalah sesepuh, seumpama menara pemancar yang tinggi dan terus-menerus menyebarkan sinyal gerak senirupa bagi generasi berikutnya. Wakidi dalam sejarah senirupa Indonesia diposisikan sebagai salah seorang master sesudah Raden Saleh, walau lukisan-lukisannya yang bertema “Indonesia Indah” itu terus mendapat koreksian dari Sujoyo dkk. pada masanya.

Begitu Wakidi telah menetapkan Minangkabau sebagai negerinya yang kedua, secara filosofis lukisan-lukisannya menjadi lebih menukik ke kedalaman, menjadikan lukisan-lukisannya yang naturaslime romantik itu mengemas “Sumarak Alam Minangkabau” sebagai tema sentralnya. Minangkabau yang permai, indah, tiada badai, hujan, tiada gempa walau pada masa-masa pra-kemerdekaan dan sesudahnya Wakidi juga ikut bergerilya bersama pejuang kemerdekaan sampai ke kampung-kampung yang jauh di pedalaman Minangabau sambil terus melukis. 

Beberapa pelukis lainnya seperti Usman Kagami, Samsulbahri, Idran Wakidi, Yose Rizal dan beberapa pelukis lainnya lagi meneruskan aliran ini. Bahkan sering pula orang menjuluki Wakidian  untuk para pelukis yang mengikuti aliran Wakidi. Kepulangnya para perupa dan pelukis dari ASRI Jogjakarta dan ITB Senirupa membawa angin baru dalam perkembangan berikutnya. Beberapa nama seperti Huriyah Adam, Ramuddin, Arby Samah, A.A.Navis, Adrin Kahar, Sumaryadi, Amir Syarif, Hasnul Kabri dan beberapa lagi mencoba menguak tirai untuk menemukan modus baru dalam aliran senirupa di Sumatera Barat dengan merujuk kepada aliran-aliran yang telah berkembang di dunia barat. Kemudian dilanjutkan oleh yang lebih muda dan gigih lagi seperti AR Nizar, Firman Ismail, Ady Rosa, Muzni Ramanto, Darvies Rasyidin, Herisman Is, Bodi Dharma, A.Alin De, Nazar Ismail, Amrianis, dan lainnya.

Ada yang terus berkarya di luar Sumatera Barat, seperti Syahrizal Zain Koto di Jogja yang kemudian mengukuhkan namanya menjadi Pematung Indonesia terkemuka, dan beberapa perupa lainnya yang tak kalah besar namanya. Kemudian susul menyusul nama-nama penting dalam gerak lajunya senirupa Sumatera Barat diantaranya Zirwen Hazry, Irwandi, Iswandi, Nasrul dan beberapa lagi (mohon maaf, tidak semua pelukis dapat saya catat dengan rapi, jadi banyak yang tidak tertuliskan dalam pengantar ini). Para pelukis ini terus jungkir-balik dan bertungkus lumus siang malam mencari bentuk-bentuk baru, tehnik-tehnik yang relevan dan idiom-diom pengucapan yang sesuai dengan media senirupa yang mereka tekuni.
Kamal Guci berada dalam arus perkembangan demikian. Diapun jungkir balik untuk “keluar” dari kungkungan gaya dan tema “Sumarak Alam Minangkabau” itu. Pameran tunggal pertamanya tahun 1996 di Taman Budaya membuktikan, bahwa Kamal Guci walau sudah mencoba mencari bentuk-bentuk baru dan untuk itu dia mencoba melakukan interval kreativitas seperti ikut dalam proses pementasan, pembuatan film dsbnya, namun tema “Sumarak Alam Minangkabau” itu tetap menjadi “hantu” yang belum dapat ditangkal dengan mantera apapun. Rantang waktu sejak dari Wakidi sampai ke Kamal Guci sebenarnya masih terlalu pendek untuk suatu perubahan, tetapi kegelisahannya untuk segera “keluar”, untuk segera “berubah” tidak dapat dibendungnya.

Ketika umurnya memasuki angka 50, (umur bagi seorang pelukis untuk tidak dapat lagi disebut pemula atau amatiran), Kamal Guci disentak oleh berbagai problematika kehidupan dari segala lini. Dia digoncang, diragukan, dirisaukan, di sangsikan oleh berbagai masalah yang secara kompleks mengurung dirinya. Adat dan budaya Minangkabau yang diyakini selama ini sebagai rujukan nilai-nilai dan moral, perilaku lingkungan yang semakin hari menjadi semakin hedonistik, egoistis dan bahkan brutal seakan-akan mencucuk-cucuk kanvasnya untuk sesegeranya harus dijawab dan sesegeranya harus dicatat.

Lukisan Kamal Guci - teraSeni
Lukisan Kamal Guci
dalam sebuah pameran di bali

Kamal Guci tengah berada dalam “gempa budaya”. (Istilah ini dipinjam dari seorang penulis esei dan kritik Purnama Soewardi). Gempa budaya tak hanya meluluh lantakkan nilai-nilai dan moral, tetapi juga mengikis dan menghanyutkan kejujuran, kepasrahan, kebersamaan yang selama menjadi andalan hidupnya. Belum selesai Kamal Guci menjawab tantangan gempa budaya demikian, gempa bumi tiba-tiba melanda Sumatera Barat. Melanda “Sumarak Alam Minangkabau” yang selama ini didendang-dendangkannya di atas kanvas.

Mau tidak mau, di era umur limapuluhan itu, Kamal Guci sebagaimana yang diakui sendiri; “lukisan-lukisan saya seakan terbawa arus, mengalir sendiri seperti air sungai” ketika dia diminta harus menjelaskan kenapa tema-tema lukisannya sudah bergeser dari “Sumarak Alam Minangkabau” ke “Minangkabau Yang Semakin Risau”. Tema seni lukis Sumatera Barat tanpa disadarinya mulai bergeser dari Wakidi ke Kamal Guci.

Dia tidak sempat lagi menangis melihat rumah gadang, mesjid dan surau, lapau, tapian, galanggang telah porak poranda dan luluh lantak oleh bencana alam. Dia pelukis dan harus segera melukis. Tragedi “gempa budaya” dan “gempa alam” yang tengah dihadangnya itu terasa sekali dalam penempatan warna, objek, centre of interest, atmosfir dan landscaping (lingkungan) yang dipilih untuk dilukiskannya. Dalam pameran tunggalnya yang kedua ini, lukisan-lukisannya yang bertarikh 2010 (sebanyak 16 buah) akan bercerita kepada kita, kepada imaji-imaji kita tentang gempa, bencana dan malapetaka yang menimpa ranah Minangkabau. Sedangkan lukisan-lukisannya sebelum itu yang bertarikh 2009 (sebanyak 6 buah) yang juga diikutsertakan dalam pameran tunggal keduanya ini memaparkan bagaimana pilu hatinya melihat kondisi sosial budaya Minangkabau sebelum gempa. Kondisi-kondisi sosial yang merisaukan, mencemaskan dan mengkhawatirkan yang akan dilalui pada titian panjang menuju hari esok.

Kamal Guci telah melukis dan banyak sekali. Berpencaran pada berbagai kota, berbagai kolektor dan pada galeri dan studio mininya di Dusun Lubuk Guci, Kanagian Sarang Gagak Kecamatan Enam Lingkuang Pakandangan Kabupaten Padang Pariaman. Sebagaimana karya-karya perupa lainnya, lukisan-lukisan Kamal Guci pada hakekatnya adalah dokumen dari suatu perjalanan budaya dari suatu bangsa. Ada gumam, senandung, isakan tangis, erangan nasib, ratapan, kerisauan, serta dendang-dendang kerinduan. Semua itu dinukilkannya di dalam kanvas-kanvas yang tampaknya sederhana, terkadang jadi monochromatik, tanpa tekanan. Jika dari segi materialnya kanvas-kanvas itu mungkin hanya bisa bertahan sampai 100 tahun misalnya, akan tetapi catatan budaya yang ditinggalkan Kamal Guci pada kanvasnya akan terus bertahan selagi manusia masih diberi umur oleh Allah swt. dan masih hadir dalam kehidupan bersama. (Wisran Hadi)

Sumber: ANAK DIPANGKU KEMENAKAN DI BIM; Sagarobak-Tulak Buah Tangan Wisran Hadi (Padang: Lembaga Kebudayaan Ranah, 2013)